Friday, January 19, 2007

Kau yang kini aku tak tahu

Ruang itu terasa hampa, lambai angin yang menyusup lirih lewat sela-sela jendela kaca tak mampu keringkan pipinya yang basah. aku tertegun dengan kata-kataku, aku telah membuatnya menangis. Tetes demi tetes air matanya terus menerus menimpaku deras sederas kata-kataku saat itu.
"Putus" kata itu yang sempat terucap tanpa rencana, aku ingin menarik ulur kata itu namun aku tak mampu. aku terlanjur mengatakannya, "apa iya ludah yang telah terlempar ku jilat lagi?" fikirku angkuh. Dibatas kesadaran, pelan-pelan jiwaku berbisik,
"Kenapa sich harus terucap kata-kata itu? apa tidak ada kata yang lebih pantas dan urung meneteskan air matanya?". Gelang-gelang sesal melingkariku kalut.
Hari ini aku melihat tak ada keangkuhan lagi dimatanya, tak tersirat sedikitpun garis-garis kebohongan diwajahnya, ia betul-betul mencintaiku, ia sungguh menyayangiku, kenapa aku berbuat seperti itu. Jiwaku tertegun lemas di sudut ketidakwajaran. Aku memang kurang ajar, aku memang penjahat yang telah merobek hatinya tanpa kesadaran. Hari lalu aku mengatakan "iya" dan hari ini aku jadi seorang komprador dan memberanikan diri mengatakan "tidak".
Tapi ini masalah hati aku tak sanggup mengingkarinya, dan aku telah melakukan kesalahan fatal telah coba-coba bermain dengan hati. Hati siapa yang mau dipermainkan? seperti bola yang kadang ditengah, pojok bahkan terjelembab masuk gawang, aku tak mau hatiku diilustrasikan seperti bola yang hanya bisa di tendang tak pernah mampu melawan, diapun pasti begitu, mana bisa hatinya rela di permainkan seperti bola, tapi kenapa aku lakukan itu? Pertanyaan-pertanyaan yang membunuhku.
Di Ruang kuliah kampusku, aku jadian empat bulan lalu, saat itu aku merasa terus menerus dibuntuti bayang-bayang ketakutan, kekhawatiran, harapan dan angan-angan betapa aku akan bahagia bersamanya.
Awal dari sikap iseng saja hari, itu di teras kosku yang lusuh Zakaria tiba-tiba bertanya pada semua orang yang ada, Siapakah yang kau suka sekarang? Jawab dengan jujur, karena kita semua satu keluarga, satu ikatan yang tak mungkin membuka rahasia satu sama lain!
“Zacks, kau telah meluncurkan pertanyaan yang sangat tolol hari ini” batinku lirih saat terkejut mendengar pertanyaan Zakaria yang memang menurutku sangat tolol.
Satu persatu dari sekian teman yang ada kecipratan pertanyaan itu, ada yang jawab asal saja termasuk aku yang hanya bilang “tidak ada”, dan ada juga yang jawab serius dengan menyebut nama panjang kekasihnya bangga.
Jawaban yang terakhir sungguh membuat hati dan fikiranku serentak terguncang “Farid”. Namaku saat itu di sebut Anisatun Muflichah, gadis berjilbab yang sejak lama kami temani sebagai sahabat diskusi. Kontan semua orang bertepuk tangan, entah mengejek atau ucap syukur karena aku dan Anisa akan di pertemukan dalam ikatan cinta. Iseng saja ku jawab tanpa fikir, “Ah.. tapi Anisa, aku yang tidak suka sama kamu” jawaban yang membuat pipi Anisa merah padam, aku yakin ia malu bercampur kecewa mendengar jawabanku saat itu.
Kekecewaan Anisa kukira akan berakhir dengan berakhirnya pertemuan hari itu, tapi tidak, kekecewaan itu berlarut membuntuti hari-hari kami. ia semakin menjauh dariku, keanehan-keanehan dalam dirinya mulai terlihat, setiap percakapan dengan teman dekatnya selalu muncul ungkapan kekecewaaan tentang ketidakpercayaanku pada dirinya yang konon hari itu ia katakan serius.
Suatu hari kulihat Anisa berjalan sesenggukan sambil membenamkan wajahnya dibalik bahu kawannya Firda, aku sempat ingin bertanya ada apa? Namun Firda yang juga teman dekatku dengan isyarat bibir berucap lirih “Dia nangis Rid” bisiknya tak terdengar sedikitpun sambil melambaikan tangannya menyuruhku mendekat..
Hatiku lantas bertanya, kenapa ia menangis?kenapa Firda memberiku isyarat supaya mendekat? apa memang ia menangis karenaku? lalu aku telah berbuat apa padanya?, ah persetan....toh dia bukan apa-apaku, bukan adikku, bukan pacarku, dia hanyalah seorang gadis lugu teman diskusi yang hatinya tersangkut di dahan-dahan. Tapi ...apa iya aku setega itu? Tidakah aku sebagai teman harus menghargainya, mendengar apa gerangan yang tengah menimpanya?.
Dipojok kampusku kulihat Anisa menyandarkan kepalanya dibahu Firda sambil terus sesenggukan menahan isak tangisnya. Segera saja Firda kuberi isyarat supaya menyingkir dan aku bisa bertanya padanya tentang apa saja.
“An....ada apa? kok nangis? Ada masalah ya dengan air mata itu?” sedikit ledekku dengan maksud menghiburnya, siapa tahu lucu. Tidak ada jawaban sedikitpun.
“An sakit ya?” tanyaku lagi. Masih saja ia benamkan kepalanya dalam-dalam seolah-olah ia tak ingin melihatku lagi.
“An kok kamu diem aja, ngomong dong ada apa?......kamu sakit ya?” kuulang pertanyaanku dengan sedikit memaksa. Dan tiba-tiba wajahnya diangkat dan aku bagai dieksekusi busur panah yang siap menerjangku. Sorot matanya yang tajam tak terganggu sedikitpun dengan rembesan air matanya yang terus menetes.
“kalo iya mau apa dan kalau tidak mau apa?” pertanyaan yang betul-betul memuat kemarahan, dan membuat lidahku tertekuk tiga tak mampu menjawab. Aku coba memutar otak mencari kata-kata yang pas untuk membuatnya senyum sedikit saja.
“Aku sakit Rid” katanya lemas.
“Yach...kamu sakit apa An sahabatku?” aku menjawab dengan nada berharap ia mau curhat..
“Sakit dada.....” katanya singkat sambil menekuk kedua lengannya seperti orang kedinginan. Ku coba garisbawahi kata-kata ‘sakit dada’ yang diungkapkannya, aku faham bahwa ada maksud disana yang aku maknai saat itu ‘sakit dada’ adalah sakit hatinya karena aku tak mau mempercayainya bahwa dia betul-betul mencintaiku.
“An sakit dada kan bisa bermakna ganda, sakit dada beneran atau sakit hati? Jawab! ” suruhku ingin memastikan. Lama aku menunggu jawabannya, sampai kakiku tersa kesemutan, dan segera ku berdiri seperti hendak pergi.
“DUA-DUAnya” jawaban yang membuatku tambah faham dan sekarang aku betul-betul faham.

***

SEUSAI magrib aku dan teman-temanku seperti biasanya mendatangi Islamic Center tempatku menimba ilmu-ilmu agama. Sore itu teman-temanku terlihat semangat sekali, tentu hal ini membuatku bertanya-tanya, apa kiranya tema sore ini sehingga mereka terlihat senang dan bersemangat?. Teman-teman yang relatif seumuran denganku memang sedang greget-greget-nya mencari solusi bagaimana mencintai yang baik agar tidak terjerumus pada hal-hal yang dilarang agama. Contoh nya Arif temanku satu ini memang sudah beberapa minggu dikejar-kejar cewek bernama Shalatiyah. Sholatiyah benar-benar jatuh hati pada arif karena segala sikap dan tindak-tanduknya selalu sejalan dengan keinginannya. Shalatiyah senang dengan cowok yang gaul tapi islami, suka belajar agama dan itu semua ada pada diri arif. Walaupun begitu sungguh arif tak mau tergoda, ketakutannya pada Hadist Nabi yang mengatakan ‘la taqrabu az-zina’ jangan kau coba-coba mendekati Zina, karena itulah ia tidak mau menanggapi serius perasaan shalatiyah itu. Namun sejatinya ia juga suka dengan Shalatiyah, hanya saja dirinya masih bingung.
Kerap Arif menghampiriku dan menceramahiku dengan larangan-larangan supaya jarakku dengan Anisa di perenggang sedikit, karena terlalu dekat bisa-bisa lerlempar ke lembah Zina seperti kata Nabi itu. Tapi tak lama ia menceramahiku, tanpa sadar ia telah berbicara sendiri dan curhat kepadaku, sejujurnya ia ingin bertanya bagaimana mencintai, dicintai dan mendapat Ridlho Allah? Karena kutahu Arip juga sedang mengalami deraan asmara yang sama-sama berat. Walaupun demikian kadang aku berkomentar dan mencari-cari apologi, Bahwa setiap kali aku bertemu Anisa selalu saja ada Muhrim atau orang ketiga yang menemani kami. “itu kan kata Syari’ah Rif” kataku.
Syech Agif hari itu menceramahi kami dengan konsep-konsep manajemen cinta. Aku jadi teringat lontaran-lontaran pesan Mas Iip Wijayanto dengan buku manajemen cintanya yang hebat itu. Sama seperti Iip -atau entah ia meminjam gagasan Iip- Syech Agif mengatakan bahwa cinta sangatlah penting dan krusial, karena mengapa? Karena setiap manusia selama masih tercatat sebagai manusia normal pasti membutuhkan cinta sebagai stabilisator hati yang resah dan tengah mengalami kesepian.
Cinta sejatinya muncul seiring dengan diciptakannya manusia pertama Adam, Nabi Adam merasakan ada yang kurang didalam syurga yang serba berkecukupan, kekurangan itu dijawab Allah dengan diciptakannya Hawa. Cinta yang di butuhkan Nabi Adam adalah Cinta yang aktif, mencintai dan dicintai.
Mendengar Syech Agif sontak aku tertegun, aku teringat lagi pada Anisa, Cewek baik yang pernah terang-terangan mengungkapkan cintanya padaku. Tentu Anisa juga punya keinginan yang sama, mencintai dan dicintai. Lalu kenapa Anisa hanya bisa mencintai sementara aku tidak mencintainya, aku tidak adil fikirku.
Teman-temanku yang lain juga merenungkan dengan dalam ceramah syeh agif itu, mereka hampir terlanda hal yang sama.
Empat hari sudah kami tidak pernah kumpul-kumpul lagi, kami sama-sama berkhalwat dan memikirkan tentang tindakan sebenarnya tentang bagaimana mencintai dan dicintai.
Diakhir ceramah Syech Agif kami dibuat tambah bingung, menurut syech ada cinta langit dan cinta bumi. Cinta langit adalah mencintai Allah, berjihad dan mencintai Rasulullah. Syech menyitir sebuah ayat yang mengatakan barangsiapa yang mencintai Allah maka harus berjihad fi Sabillillah. Bentuk jihad tidak hanya harus mengangkat senjata kemudian membunuh orang-orang kafir, tapi berjihad juga bisa lewat dakwah, belajar, berbakti kepada orang tua dan masih banyak lagi.
Selain cinta langit yang membuat kami pasrah itu, kami diceramahi tentang cinta bumi, cinta bumi oleh sang Syech didiskripsikan dengan membaca ayat yang artinya katakanlah, Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, karib kerabatmu, harta benda yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu takuti kerugiannya dan tempat-tempat tinggal yang kamu sukai itu, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasulnya dan berjihad dijalan Allah, maka tunggulah Allah sampai menurunkan keputusannya. Sungguh Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang Fasik.

***

Anisa hari itu berdandan rapi dengan jilbab terurai sampai bawah dada. “Anggun sekali cewek pagi ini” Kagumku dalam hati. Dengan setelan jilbab pink dia tampak ceria, tidak seperti dua minggu lalu ketika dia menangis dan merasa di jahati olehku. Hari ini dia begitu antusias menyapa siapa saja yang ia temui.
Sepulang kuliah pagi itu, sungguh ingin sekali kutanyakan tentang perubahan besar yang terjadi dalam dirinya. Tapi sayang hari itu teramat pendek karena kami harus berangkat jum’atan tepat jam 12.00 wita.
Keesokan harinya aku bertekad aku harus bisa menndapatkan jawaban tentang perubahan-perubahan itu.
“An, kamu tidak dendam pada saya?” tanyaku
“Masa’ aku dendam Rid, kan sesama ummat Islam tidak boleh mendendam, gak ngomong tiga hari aja karena dendam kita diancam kafir rid “katanya memberiku penjelasan.
“Lalu apa yang kamu harapkan lagi sama aku An?” tanyaku berharap dia mau mengungkapkan bahwa ia tidak mencintaiku lagi karena sakit hati yang kemarin.
“Rid, Aku yakin ketika hatiku mengatakan aku mencintaimu, maka sesungguhnya kamu juga mencintaiku, tapi sudahlah aku tidak mau terjebak dalam hal ini, cukup kita saling mencintai sebagai teman saja, ku fikir itu sudah lebih dari cukup”.
Aku tambah heran dengan ucapan itu, bagaimana mungkin secepat itu Anisa Berubah. Padahal hari lalu akulah yang menawarkan kata persahaban itu tapi justru dia mau sebagai pacar, sekarang kebalik dia mau dicintai sebagai sahabat tidak sebagai pacar.
Terakhir aku ketahui dari sahabatnya Firda, bahwa ternyata Anisa sekarang sudah gemar ikut ceramah-ceramah agama bersamanya. Kebetulan saja pada pekan lalu dia mendapatkan ceramah tentang manajemen cinta, tema yang sama seperti yang pernah aku terima dengan teman-temanku.

***

“Rid, Ni ada kiriman dari Anisa!” Panggil mamaku yang tengah menyapu teras pagi sekitar jam tujuh. Kuhampiri dia dan akupun terejut karena ternyata Anisa datang ke rumahku, dia bersama firda memang special mengantar sepucuk kertas unggu bergambar kaligrafi arab yang merupakan kata-kata sayyidinaAli Karramallahu Wajhahu. “Habbib Habibaka haunan ma sya’a, an yakuna baghidaka yauman ma, wa abghid hawnan ma asa an yakuna habibaka yauman ma”(Cintai kekasihmu sekedarnya saja karena bisa saja suatu hari dia menjadi orang yang membencimu, dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, karena bisa jadi pada suatu hari dia akan menjadi kekasihmu). Kubalik kertas ungu itu, disana tertera sya’ir Ibnu Qayyim Al-Jauziyah seperti yang pernah dikutip Iip Wijayanto dalam bukunya.

Kupunya sekeping hati yang ditebari cinta
Karena cinta ia rela menghadapi penyiksa
Cinta merebut dirimu dengan pengorbanan jiwa
Kan kutebus pula dengan sesuatu di atas jiwa

Syair Ibnu Qayyim yang menggambarkan kondisi ideal dalam kehidupan kita mencintai dan dicintai “Bumi mencintai langit dan langit mencintai bumi” bukan “bumi mencintai Bumi dan Langit Mencintai langit”. Wassalam.

Anies, Mungkinkah aKu Kembali?

Malam yang begitu sejuk. Suasana teras rumah yang setengah gelap setengah terang. Sosok yang dulu pernah ada bembayang diantara secercah cahaya temaram. Kau yang dulu pernah aku jadikan kekasih. Namun karena beberapa alasan akupun putuskan untuk meninggalkanmu. Kini ketika deraan gelap menghamipri dan bahkan menyergapku, aku mendatangimu kembali. Ada secercah ketenangan kudapatkan disisimu. Ada secercah kebahgiaan bisa bicara denganmu. Aku juga melihat ada suasana bahagia tergambar di pelupuk dan ola matamu yang hitam. Akupun begitu.
Tampak juga diwajahmu kebanggaan yang sangat. Kau terlihat senang dengan dan bangga aku masih menyirat sepotong hati untukmu yang memang setia menyayangi.
Kau tak tampak takut, malu namun sedikit curiga dan mengira-ngira. Aku tidak mungkir, sesungguhnya sebegitu banyak perempuan yang kupacari ada sesuatu yang tak kudapatkan kecuali dari kamu.
Ya salah satunya, perhatianmu yang sungguh-sungguh. Aku bilang yang paling aku gak bisa lupain ketika kamu selalu bangunkan aku pagi-pagi, kamu sering memaksa, jika gak di penuhi kau kerap ngambek dan marah.
Ketika detik-detik perpisahaan itupun kau masih menunjukkan perhatian itu. Tapi aku memang kurang ajar dan tak berperasaaan, membuatmu menangis tak percaya. Hingga malam ini kita bertemu lagi dan berbicara dari hati-ke hati.
Mungkinkah aku akan kembali?

31 Oktober 2006-10-31 Jam 08.00 malam

Nonton Kick Andy: Adik Pram Dan Aidit

Terlambat beberapa menit aku memencet tombol satu, chanel metro TV. Disitu ada acara sangat menarik perhatian saya, Kick Andy. Acara ini dipandu oleh orang yang cerdas banget, pertanyaan-pertanyaannya memikat dan memukau. Tapi saya tidak tahu namanya, kemungkinan namanya Andy, karena seperti Dorce Show atau ...........tata rambut. Dengan nama itu, orangnya juga disitu biasanya menjadi Host acara.
Tema Kick Andy yang saya tonton saya tidak paham persis sih, tapi kelihatannya karena yang hadir aktivis-aktivis mahasiswa yang hidup pada masa orde lama, maka saya prediksi temanya “mahasiswa-mahasiswa Orla” itu juga saya lihat setiap kali nama-nama narasumber di layar bagian bawah.

Yang hadir disitu selain “andy” tadi yang membawa acara, ada sekitar enam tokoh-tokoh mahasiswa ORLA. Karena saya terlambat menyimak yang dapat saya catat hanya dua nama. Pertama : Kusala subagyo toer dan kedua : Sabron Aidit. Aku tidak banyak kenal dengan dua nama ini, namun yang menjadikanku tertarik adalah embel-embel nama keduanya yang masing-masing mengingatkan saya pada dua tokoh komunis DN. Aidit dan Alm. Pramoedya Ananta Toer.

DN Aidit saya kenal dalam sejarah sebagai tokoh entolan PKI dalam sejarah politik Indonesia. Kemudian Ananta Toer, saya kenal dengan kisah-kisah beliau yang sangat rajin menulis dan menjadikannya alat perjuangan. Melekat juga disitu nama pulau buru tempatnya dibuang. Ada bukunya yang saya koleksi berjudul Korupsi dengan tokoh bakir.

Kembali ke dua orang toh tadi. Sobron dan Kusala. Dalam obrolan saya dapat mengikat beberapa makna menarik.
Pertama: Sobron Aidit ternyata tinggal di Jerman sejak 1961. ia menjadi mahasiswa yang dikirim pemerntah karena prestasinya. Ia telah menjadi warganegara jerman sekarang, sama seperti habibie. Sejak meletusnya Gerakan 30 September, atau pembantaian PKI, ia ketakutan pulang ke Indonesia. Baru pada tahun 1993 ia mulai berani masuk indonesia, itu saja dengan diam-diam.
Menurut “andy” ia termasuk orang yang misterius, karena jika tidak ada acara ini Sobron bisa jadi tidak pernah kelihatan walau ia mengaku sekali sampai tiga kali dalam setahun tetap berkunjung ke indonesia.

Diacara ini juga saya tahu buku yang ditulis Sobron berjudul “Romantika Orang buangan” tapi sampai sekarang belum diterbitkan. Disitu ia konon bercerita kerinduannya bertemu sang kakak Aidit, Aidit pernah bilang pada adiknya “kamu jangan pulang dulu ke Indonesia, karena tentara sedang mencari-cari kita terutama saya untuk dibunuh”.

Pertemuan itu konon adalah pertemuan terakhirnya dengan sang kakak, yang lalu Aidit menghilang entah kemana. Kematiannyapun masih saya cari tahu.

Kemudian kedua: Kusala Subagyo Toer. Orang ini ternyata adik kandung dari penulis besar yang beberapa bulan lalu meninggalkan kita pramoedya ananta toer atau akran disapa pram. Kusala menulis buku berjudul “ Kampus kabelnaya”. Ia juga merupakan korban dari meletusnya G 30 september.

Sebagaiamana karya-karya pram, buku-bukunya juag dilarang terbit. Kusala saat ini tinggal di Moskow, Rusia. Ia menjadi warganegara disana.

Acara ini mengungkap kegelisahaan orang-orang uangan ini. mereka hengkang dari negeri indonesia karena tidak mendapatkan jaminan keselamatan, jaminan hukum dan keadilan. Orang-orang ini rata-rata pernah dipenjara.
“Andy” bertanya, kenapa anda tidak balik ke indonesia? Ada yang menjawab, tidak bisa karena TAP MPR NO 25 tentag anti komunisme belum terhapus, juga ada yang denagn alasan keamanan dan lain sebagainya.

Diacara itu menarik, ada rekaman gusdur. Gusdur pernah bilang kurang lebih begini”mereka-mereka ini harus diberi hak hidup di indonesia, dan kami harapkan mereka mau kembali. Saya tidak sepakat jika mereka didiskriminasi. Karena persoalan salah benar dalam gerakan itu masih dalam simpangsiur sejarah. Harapan kami mereka mau kembali. Kemudian seelah kembali mereka menjadi orang-orang indonesia normal yang tidak ada diskrimaonasi atau lain sebagainya”.[]

Keikhlasan Menulis

Ada yang belum aku rasakan dalam kegiatan apapun yang aku lakukan. Yaitu keiklasan. Ketika saya membantu orang aku terbentur dengan keihlasan, menulis juga aku terbentur dengannya. Aku belum belajar iklas. Kata buku yang pernah aku baca atau dari orang aku pernah mendengar. Keikhlasan itu bak perumpamaan kita membuang hajat. Tidak ada beban! Tidak ada keinginan mendapatkan sesuatu darinya kecuali membuang hajat. Tidak juga terfikir oleh kita akan mengambil lagi sesuatu yang kita buang. Betul-betul plong.

Ikhlas mungkin berarti rela. Ya rela dengan sesuatu. Misalkan dengan ungkapan “aku rela kamu pergi ke negeri orang” bahasa lainnya “aku ikhlaskan kamu pergi ke negeri orang” sama dengan “aku merelakan uangku yang seratus rupiah kemaren” sama dengan aku ikhlaskan. Tapi bagaimana dengan bahasa yang begini “aku rela menulis buku itu” dengan “aku ikhlas menlis buku itu”?

Tampak terjadi perbedaan walau sedikit. “dalam menulis aku tidak rela” dengan dalam menulis aku tidak ikhlas”. Nampaknya letak perbedaannya pada ruh dari kedua kata itu. Bahasa orang sufi, masih lebih dalam makna ikhlas daripada rela”. Ikhlas sudah pasti rela, dan rela belum tentu ikhlas.

Seseorang yang rela menulis ontologi cerpen untuk amal gempa di yogyakarta belum tentu ikhlas. Mengapa? Karena disitu bisa jadi terbersit dihati ingin mencari popularitas, mendapat sanjungan atau lainnya. Tapi jika ikhlas, hal itu tidak pernah diharapkan. Ya menulis saja, sudah cukup.

Yang sama diantara keduanya, sama-sama berada di hati. Samasekali bukan ada di mulut atau tulisan. Jika hernowo katakan dalam mengikat makna bahwa bada perbedaan dalam berkata dan menulis seperti menulis tidak bisa keseleo sementara bicara bisa saja lifah keseleo barangkali perlu dipertimbangakan. Karena menulis juga bisa keseleo.

Ini artinya mutlak keikhlasan dan kerelaan hanya ada dihati. Hanya orangnya dan tuhan saja yang tahu. Bisakah aku menulis dengan ikhlas?

Konon, menulis dengan ikhlas ada kekuatan spritualitasnya. Buku-buku yang hebat konon ditulis pengarannya dengan ikhlas. Dan pengarang yang tidak ikhlas biasanya bukunya tidak hebat. Bisa jadi, tapi ini asumsi pribadi saya yang kuat, itu benar adanya.

Sehingga saya yakin betul seperti Al-Ghazali, karl mark, lenin, Iqbal, cak nur, Gusdur, Emha, taufik Isma’il, hernowo, D. Zawawi Imron serta penulis-penulis yang bukunya hebat dan dibaca orang seseungguhnya menulis dengan keikhlasan.

Aku punya ambisi kuat untuk menulis, tapi kerap yang muncul ketidakikhlasan. Bayangkan saja, ingin menulis di lombok post hanya modal semangat ingin disanjung atau menunjukkan diri bahwa diri saya pintar. Mencoba menulis di pro kontra (Prokon) aktivis nitan saya supaya dapat honor. Mengapa saya tidak bisa ikhlas? Jawabannya, kemungkinan karena saya memang masih butuh itu. Lalu kapan saya tidak butuh sanjungan, imbalan atau lainnya?.

Menurut pengamatan saya selama ini terhadap beberapa penulis. Umur yang menentukan juga. Penulis-penulis muda jarang ada karyanya yang sangat hebat, justru mereka-mereka yang sudah menginjak 50-an, citarasa tulisan, atau gizi bukunya lebih terasa.

Tapi masak aku menunggu umurku sekian puluh tahun baru aku bisa menulis ikhlas? Aku harus mulai mencoba. Mencoba untuk iklas, dalam apapun.

19 Oktober 2006 (kost dini Hari, pukul 1:33)

Jadi korban Politik kepala Desa

Tiba-tiba hapeku berdering. Nama “Kak cree” terlihat dibalik kerlap-kerlip lampu hapeku yang cukup mencolok. Kak cree bilang, baru saja Kak Oji nelpon dia, aku disuruh pulang karena ada persoalan penting dikampung. Seorang bernama Ali menuduhku pernah mengisap narkoba di Dempasar bali. Karena tuduhan itu, keluargaku berencana akan melaporkan Ali ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Sontak saja hati dan fikiranku kacau balau. Didadaku meledak emosi yang berat, tuidurkupun malam itu jadi tak nyaman. Fikiran tertuju pada itu saja.

Aku curhat pada teman sekampung yang kuliah di mataram. Mereka berasumsi, hal itu terjadi karena tindakan bapak saya beberapa waktu lalu sempat ceramah mengatakan “karakter seorang pemimpin dapat dilihat dari orang-orang yang bekerja dengannya, atau orang-orang yang ada di sekelilingnya. Jika orang-orang disekililingnya baik maka baiklah proses dan hasil kepemimpinannya, dan jika orang-orang disekilingnya jelek maka proses maupun hasilnya juga akan jelek” kurang lebih begitu isi ceramah bapak saya yang konon berlangsung di dua masjid.

Memang di desaku saat ini sedang panas-panasnya proses pemilihan kepala desa. Ada tiga calon yang uncul, lalu Wirama, Pak lam dan lalu mujitahid.
Sosok ketiganya berbeda. Lalu Wirama dikenal masyarakat tidak pernah tinggal di desa kami sejak waktu yang lama, pekerjaannya jadi tukan catut tanah, orangnya kaya. Oleh karenannya untuk kesuksesannya Wirama berani menyogok orang-orang, bahkan kampungku saja di beri fasilitas perbaikan dan pelebaran jalan lengkap dengan trotoarnya sekalian. Yang ada di belakang Wirama adalah orang-orang yang notabene dimata masyarakat tidak cukup baik. Seperti Ali dan Pak Satar.
Pak ali dan pak satar dikenal masyarakat kampung sebagai orang pintar yang menggunakan kepintarannya untuk melakukan tipou muslihat. Pernah suatu saat ia dipercaya sebagai penarik donatur but madrasahaku di kampung. Eh ternyata ia menilap uang pemberian para donatur itu. Disamping itu reputasi moral mereka juga rusak, pak satar pernah mencabuli salah satu gadis di kampungku ini.

Kemudian pak Lam, adalah sosok yang biasa-biasa saja. konon ia maju mencalonkan diri karena terpaksa saja, dan lebih dikarenakan ketidakrelaannya melihat wirama tidak punya saingan. Berbeda dengan reputasi satar dan Ali, pak lam dikenal anggota masyarakat baik-baik, tidak pernah punya masalah apalagi kriminal.

Oleh karenanhya masyarakat kampungku khususnya bapak saya mendukung calon satu ini. beberapa kali pak lamam beserta team suksesnya berkunjung ke rumahku sekedar meminta bapak ikut mendukungnya. Persepasi bapak saya sama, ia juga tidak rela jika wirama jadi kepala desa. Terapalagi ada satar dan ali dibelakangnya.

Walhasil, dengan modal hafalan hadist dan ayat yang bapak saya ketahui. Ia berceramah di kampungku seperti yang saya ceritakan diatas.

Bagaimana dengan mujitahid? Aku tidak terlalu mengerti dan kelihatannya ia belum punya bergain position di kontes kepala desa ini. karena ia selain tak terlalu dikenal masyarakat juga karena hubungannya dengan masyarakat tidak pernah terlalu intim. Saya menyerah untuk menjelaskan sosoknya.

Tapi sampai hari ini yang telihat kuat hanya dua calon yang saya sebut pertama. Wirama dan pak lam.

Ah aku harap ini menjadi hikmah tersendiri agar aku belajar dan belajar lagi.

17 Oktober 2006

Menulis dengan gaya Aku

Sudah lama aku mendengar teori ini dari teman, kakak sekaligus guruku ucup (Yusuf Thantowi). Menulis dengan gaya ini konon sangat mengasyikkan. Diciptakan penulis produktif bernama Herowo. Menulis gaya ini juga disebut menulis dengan gaya personal, atau kalau dalam bahasa indonesia anak SMU dikenal dengan menulis dengan gaya sudut pandang pertama “saya, Aku”

Gampang-gampangan, menulis gaya aku lebih pas kita sebut “saya” menjadi subyek sekaligus obyek. Sehingga proses penulisan tak beda dengan menulis sebuah diary.
Aku menulis paragraf ini juga dengan menulis gaya aku itu. Apa sih kelebihan menulis dengan gaya aku?. Dalam diskusi yang berlangsung Kak Ucup mempresentasikan kepada kami diantaranya. Pertama : bisa menulis dengan leluasa, bebas dan lugas, tidak terikat dengan aturan-aturan penulisan seperti gramar dan lain-lain. Kedua : bisa menulis dengan cair dan mengasyikkan. Keempat: terasa tidak ada beban. Kelima: mengatasi hambatan-hambatan dalam menulis seperti kehabisan ide atau kata-kata.

Menulis gaya aku bisa mengatasi kesulitan-kesulitan menulis. Hernowo juga menulis semua bukunya dengan gaya seperti ini. maka tak heran memabaca buku hernowo laiknya membaca diary pribadinya. Sangat mengasyikkan.
Bagaimana caranya? Pertama-tama kita tempatkan diri kita sebagai subyek sekaligus obyek. Dalam bahasanya kita menggunakan “saya”. Seakan sesuatu yang akan kita tulis betul-betul kita alami sendiri. Sehingga, apa yang kita sampaikan sungguh mengena. Logis, karena sesuatu hal yang kita alami juga kadang dialami orang lain. Kemudian kita coba deskripsikan perasaan kita sendiri ketika mengalami hal itu. Maka tulisan itu akan terus mengalir deras, meminjam kata kak ucup “jika mau dihentikanpun tidak bisa” jangan heran jika sudah terbiasa menulis dengan gaya aku. Kita kaget karena tiba-tiba tulisan kita-yang semula mentok hanya beberapa paragraf-menjadi beribu-ribu paragraf.

Kosku yang semrawut, lampunya mati.
Tanggal 17 Oktober/Ramadhan 2006

S.A.V.I Membaca Ala Dave Meier

Tadi siang aku membaca buku Hernowo “seandainya buku sepotong pizza”. Buku ini udah lama aku kenal. Iya paling tidak dari temanku Yusuf thantowi. Awalnya ia membuatku penasaran banget tentang buku ini. “Buku yang menggairahkan, lezat dan bergizi” selorohnya suatu waktu. Sampai pada hari, buku itu ada jelas dihadapanku keyika itu di Yayasan Pemberdayaan Kesejahteraan Masyarakat (YPKM)-nya Jumarim umar Maye. Aku membacanya saaat itu sekedar mengobati penasaran. Aku lihat pengarangnya, daftar isinya, indeksya lalu profil penulisnya.

“Lumayan” fikirku. Aku kagum juga dengan bahasa hernowo yang menjelaskan dengan mudah dan cair banget. Dengan gaya bercerita “aku”, ia mengalir saja mengarahkan saya dengan motivasi-motivasinya. Sayang, hari ini batrangkali bukan waktu yang tepat aku membedah isi buku yang membuat aku terkagum terutama oleh judulnya.
Sekarang, berselang sekitar sepuluh bulan sudah aku kenal buku ini. Aku melihatnya lagi di perpustakaan kampusku. Sambil menunggu dosenku dateng, aku baca aja dengan serius buku ini.

Di daftar isi aku melihat kalimat “seandainya buku itu sepotong makanan”. Aku mulai mengunyah isi buku itu, halaman per halaman. Ku mendaoat beberapa ilmu membaca yang sebetulnya sich sering aku denger. Misalnya membaca dengan gaya rileks dan santai. Menurut Hernowo, membaca santai dilakukan agar tubuh tidak tegang. Di sela-sela membaca kita “disunnahkan” hernowo menggerak-gerakkan badan seperti memetika jambu. Mungkin maksudnya kayak orang menggeliat yach?. Selain itu Hernowo bilang, jangan sampai melewati satu kata yang tidak dimenegerti. Dia mengatakan, banyak orang berhenti membaca karena ia pusing dengan satu kata yang ia tidak tahu artinya, akhirnya pusing bolak-balik kamus. Bagi hernowo ini tidak penting,. Terus saja!
Yang cukup mnyentak pikiran saya adalah, teori hernowo yang menyuruh saya membaca tidak selamanya harus diam. Terkadang kita mesti juga pakai sura keras biar kuping juga mengadili becaan kita. Konon kuping punya kekuatan mencerna apa yang kita ucapkan.

Ini dijelaskan semuanya oleh hernowo dengan meminjam teori Dave Meier, S.A.V.I, iay membaca degan gaya SAVI. Apa itu SAVI? Bukan sapi yang di gembala di desaku bukan?
Jelas bukan, SAVI adalah akronim dari S (somatis), A (Auditori), V (Visual), I (Intelektual/merenungkan).

Sekarang aku ingin menjelaskan ulang satu-satu.
• Somatis maksudnya adalah, bahwa kita membaca melibatkan usnsur raga kita. Jadi karena raga tentu saja berakibat banyak pada kondisi. Kadang ada kondisi dimana kita merasa nyaman, tidak nyaman. Oleh karenanya ketika kita mmbaca juga memperhatikan kondisi tubuh kita, apakah nyaman atau tidak. Syarat utama yang disebut adalah Rileks. “jika jenuh coba gerak-gerakkan tubuh kita” bilang hernowo.
• Auditori : disamping badan kita yang bekerja, juga ada telinga yang mendengar. Iya, telinga juga mesti kita perhitungkan. Ternyata ia juga ingin nimbrung saat kita membaca. Maka hernowo menganjurkan kita sesekali membaca dengan suara keras, alasannya telinga juga kadang menumbuhkan pemahaman lebih bagi otak kita terhadap isi buku. Berarti batal dong teori orang yang bilang, “jika membaca usahakan jangan bersuara, atau mulut komat-kamit” maksudnya biar mulut gak capek mungkin. Iya ini pilihan kan?
• Visual: selain teling tentu saja mata terlibat lasngung dalam aktivitas baca. Maka mata juga perlu dimanjakan dengan melihat pemandangan-pemandangan yang membuatnya asyik. Misalkan dibu ada gambar, foto atau lainnya. Hernowo bilang biasanya mata lebih cepat terlena saat buku kita buka dengan gambar-gambarnya. Karenannya mata juga perlu di kasi faham perihal isi buku, jangan khawtir untuk mencoart-coret isi buku itu man-mana yang penting untuk ditandai mungkin pakai pensil atau stabilo. Tentunya buku sendiri dong bukan buku perpus atau buku teman, entar dimarahi loh.
• Terakhir ini yang sangat penting: Intelektual. Maksud hernowo, intelektual tidak sekedar intelektua-intelektual yang kita kenal. Maksudnya adalah merenungkan isi buku setelah beberapa saat kita membacanya. Dengan merenungkan isi buku, kita lalu bisa “mengikat makna” dari buku tersebut. Artinya coretan-coretan inti buku lah! Ini sangat penting, karena dengan merenung kita bisa berdiskusi spritual dengan pengarang (author). Debat aja dia, bantah dan bantai ok.

Jum’at, 13 Oktober 2006, 04.46 Pagi

REFLEKSI KORUPSI DI NTB

Rasulullah Bersabda : “Barang siapa yang kami angkat menjadi pekerja untuk melakukan suatu pekerjaan dan kami beri upah (gaji), kemudian dia mengambil sesuatu diluar upah yang ditentukan, maka dia dikategorikan orang yang melakukan penghianatan (ghulul)”. Hadist Riwayat Abu Dawud
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Korupsi di Indonesia bak ranjau mematikan, ia telah menjelembabkan Indonesia di dasar keterpurukan, menjamur bak amuba yang menemukan mangsa lalu beranak-pinak, dengan bahasa lain “terungkap satu tumbuh seribu”. Korupsi terlanjur menjadi parasit yang meranggaskan pohon kebangsaan dan kenegaraan kita. Korupsilah yang menjadi alasan substansi Indonesia menjadi negara miskin banyak hutang, negara yang tertindas dan bangsa yang terancam punah dan terpecah-pecah.
Untuk diingat pada akhir tahun 2003 saja Indonesia mendapat predikat negara “paling banyak hutang” yakni sekitar US$134,9 miliar yang dipinjam dari Amerika dan IMF ditambah satu predikat lagi yakni Indonesia masuk dalam deretan “negara terkorup dunia” yang dipublikasikan Tranparency International melalui Corruption Perception Index (CPI). Namun hebat! negara kita tenang-tenang saja. Malah pemerintahnya unjuk gigi berutang lebih banyak lagi dan tindak korupsi semakin menjadi-jadi. Sialnya lagi korupsi ini berpraktek juga di sektor pendidikan yang sebenarnya diharapkan menjadi benteng pertahanan Indonesia masa depan. Apa lacur jika di sektor pendidikan saja sudah terjadi krisis moralitas seperti korupsi, maka dapat dipastikan sektor-sektor lain akan lebih parah dari itu?
Bukan omong kosong jika sektor pendidikan termasuk lahan basah korupsi di Indonesia. Pendidikan dengan pernak-pernik feodalisme birokratisnya telah menumpulkan sistem kontrol masyarakatnya dengan bersembunyi dibalik identitas “sok moralis dan sok suci” “sok pintar dan sok terdidik”. Dan dengan demikian, dunia pendidikan seakan haram terjamah amoralitas atau suci dari tindak kejahatan korupsi. Padahal tidak demikian samasekali, jika ditelusuri lebih dalam, maka akan ditemui sebetulnya tindak korupsi di dunia pendidikan justru tak kalah maraknya dengan yang terjadi di sektor-sektor lain seperti kehakiman, kepolisian atau perbankan.
Hal ini dikarenakan sektor pendidikan seperti sekolah dan kampus termasuk sektor yang mendapat jatah terbilang subur dalam pengadaan barang dan jasa dari pemerintah. Saya mencontohkan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Mataram yang kini telah berubah status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram. Dalam satu tahun anggaran saja tak kurang dari sebelas pos perbelanjaan yang tercatat dalam Daftar Isian Proyeknya (DIP/ sekarang berganti nama DIPA). Ditahun 2004 misalnya total DIP untuk lembaga ini adalah tiga milyar rupiah lebih. Diantara sebelas pos itu secara spesifik dapat disebut misalnya peningkatan perguruan tinggi,administrasi proyek,pengadaan meublair,pengadaan alat laboratorium,pengadaan buku perpustakaan,pembangunan sarana dan prasarana gedung, perawatan gedung pendidikan dan rumah dinas,perawatan gedung kesehatan pendidikan dan banyak lagi yang kesemua itu mayoritas orientasinya lebih ke pengadaan barang dan jasa.
Oleh karenanya wajar bila sektor pendidikan menjadi sangat rawan dan tentu saja “basah” korupsi. Bila kita mengintip analisis Indonesian Procurement Watch (IPW) yang mulai mempublikasikan Tool Kit Anti Korupsi sejak Mei 2005 lalu, maka sektor pengadaan barang dan jasa memang adalah salah satu lahan korupsi paling subur di Indonesia (Komarudin Hidayat, 2005). Alasannya jelas, karena dari total anggaran pemerintah dalam APBN dan APBD ditemui sekitar 60 persen habis untuk pengadaan barang dan jasa. Sementara kebocoran yang terjadi akibat korupsi mencapai angka 10 hingga 50 persen. Sementara itu disektor pendidikan, karena banyak yang dialokasikan untuk pengadaan barang dan jasa diperkirakan angka kebocorannya sekitar 5 sampai 15 persen dari total bocornya anggaran.
Adapun modus operandi korupsi dalam sektor pengadaan barang dan jasa ini secara umum telah di publikasikan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Centre of International Crime Prevention (CICP) dengan istilah “The 10 Coruption Acts” atau sepuluh modus tindak korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di sektor publik yakni : Pemalsuan, Penyuapan/sogok, pemerasan, penggelapan, penyalahgunaan wewenang, sumbangan ilegal, pemberian komisi, nepotisme, pilih kasih dan sindikat bisnis orang dalam (Tool Kit Anti Korupsi bidang pengadaan barang dan jasa versi IPW).
Khusus di NTB, 10 model korupsi dalam pengadaan barang dan jasa tersebut dipastikan sangat banyak terjadi. Bukan koar-koar sebatas wacana, data riil dilapangan dapat kita temui dari analisis dan hasil penelitian beberapa organisasi masyarakat seperti LSM/NGO, Pers dan beberapa elemen masyarakat independen lainnya yang pernah melakukan investigasi terhadap hal ini. Sebutlah misalnya di NTB terdapat Solidaritas Masyarakat Transparansi (SOMASI) NTB yang pernah mempublikasikan hasil investigasinya dalam beberapa kasus penyelewengan dana APBN dan APBD dalam hal pengadaan barang dan jasa di daerah ini.
Seperti yang ditulis Ervien Kaffah salah seorang aktifis SOMASI NTB dalam buku Fiqh Korupsi Amanah dan Kekuasaan (2003), kecenderungan belakangan ini yang terjadi adalah pola pengadaan proyek dengan sistem Investasi atau populer disebut sistem Voor Finance Sharing yang ditafsirkannya sebagai sistem yang ditempuh mengandaikan pengusaha/rekanan melakukan proses pengadaan terlebih dahulu dengan dana sendiri dan secara bertahap pihak pengguna proyek (pemerintah daerah/instansi terkait) akan melunasinya dengan cara mencicil (hal 186-187).
Jika merunut pada undang-undang maka sistem ini jelas tidak ada aturannya, dan cacat secara hukum. Namun walaupun demikian entah darimana pihak pengguna proyek dan pihak penyedia jasa proyek seakan memberanikan diri melakukannya. Asumsi saya, antara keduanya terjadi kong kali kong yang ASAM SENG “Asal Sama Sama Menguntungkan, Asal Sama Sama Senang”.
Sebutlah misalnya seperti yang dicatat Ervien dalam bukunya. Ditahun 2003 saja terdapat sedikitnya 16 proyek di NTB yang dilakukan dengan sistem Voor Finance Sharing yang masing-masing adalah 7 pembangunan Pasar, 5 pembangunan sekolah, 1 pembangunan Rumah sakit dan 3 pembangunan rumah/asrama bersubsidi. Keenam belas proyek “bermasalah” tersebut tersebar di tiga kabupaten/kota yakni Mataram, Lombok Barat dan Lombok Tengah.
Bagaimana dengan tiga tahun terakhir? Antara rentang 2004, 2005 dan 2006 sekarang? Belum ada yang membukukannya seperti yang dilakukan Ervien, hanya saja jika kita rajin mengamati proses pembangunan di NTB, maka praktek korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dengan sistem Voor Finance Sharing bukannya meredup bahkan sebaliknya menunjukkan intensitas yang lebih banyak lagi.
Baru-baru ini Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapeksindo) mempermasalahkan sistem kontrak proyek Voor Finance Sharing yang dilakukan pihak Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram dengan PT. Karya Pratama senilai 107 Miliar rupiah (Lombok Post 17/4). Proyek tersebut diketahui bahkan menggunakan sistem Penunjukan Langsung (PL) yang artinya dilakukan tanpa tender resmi dan jelas-jelas bertentangan dengan Kepres Nomor 80 Tahun 2003 yang mengatur lengkap perihal pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Seperti praktek Voor Finance Sharing umumnya, proyek yang terjadi di IAIN Mataram juga demikian. Nilai proyek sebesar 107 Milyar rupiah dikerjakan oleh pihak rekanan dengan duit sendiri dan dibayar belakangan dengan sistem cicilan. Konon proyek yang sudah dikerjakan sejak dua tahun lalu itu telah menghabiskan duit sebesar 10 Milyar. Sementara itu, karena IAIN belum kunjung bisa membayar, proyek tersebut terpaksa dihentikan oleh pihak rekanan dengan alasan tidak ada dana. Bahkan kabarnya dana pembangunan yang diambilkan dari APBN itu pernah turun namun karena proyek ini dinilai pemerintah tidak prosedural,maka duit tersebut dikembalikan lagi ke pusat. Lebih sialnya lagi aroma korupsi dalam proses ini mau tidak mau menjadi obrolan yang mengiriskan baik didalam maupun diluar kampus Naudzubillah jika korupsi itu memang betul-betul dilakukan oleh orang-orang IAIN!
Namun tentu saja bukan hanya IAIN yang berpotensi melakukan proyek “gelap” macam begini. Kampus Islam ini sekedar saya jadikan contoh kasus karena saya termasuk civitas didalamnya yang mempunyai tanggungjawab mengkritisi. Hanya saja terlepas dari model korupsi apapun dan terjadi di sektor manapun di daerah ini, bagi saya merupakan aib daerah yang harus dibersihkan. Pengawasan yang intensif dan perhatian yang kritis dari semua elemen masyarakat NTB terutama oleh LSM,Ormas,Akademisi,Pers,Mahasiswa dan Tuan Guru serta masyarakat secara umum adalah solusi agar hal ini tak terjadi lagi dikemudian hari.
Dan yang paling penting, jangan kita tampil sebagai pecundang-pecundang ilmiah yang dengan retorika dan bahasa justru menghitamkan wajah sendiri. Tulisan ini sekedar interupsi dari sekian banyak persoalan korupsi yang terjadi di daerah ini. Mengingatkan dan mengkritisi tentu bukan berarti menebar kejelekan (fitnah) bukan?.
Ada baiknya saya mengutip firman Allah yang mewajibkan kita saling mengkritisi dengan konstruktif “Telah dikutuk orang-orang kafir dari Bani Isra’il melalui lisan Dawud dan Isa putra Maryam, disebabkan mereka selalu durhaka dan melampui batas, mereka satu sama lain tidak mau mengoreksi dan mengkritik kemungkaran yang mereka perbuat, sungguh sangat buruk yang mereka lakukan” (Al-Ma’idah: 78-79)

*Dimuat di Harian Lombok Post Dua kali : Tanggal, 30 April 2006 dan 6 Juni 2006

Zaman Pendekar Sudah Lewat!

Sedikit kita balik lembar sejarah. Sebelum nusantara ini bernama Indonesia, kita berbentuk kerajaan-kerajaan yang menyebar. Saat itu belum ada pistol, bom apalagi senjata nuklir. Yang ada adalah jurus-jurus silat dan mantra-mantra sakti yang bisa bikin tubuh kebal bahkan bisa terbang. Selain kerajaan, konon ditengah masyarakat ada yang disebut pendekar. Mereka memilki ilmu yang tinggi, jago pilih tanding, disegani lawan dan disenangi teman.

Diantara pendekar-pendekar itu ada yang disebut pendekar berilmu hitam dan putih untuk menggambarkan pendekar berwatak jahat dan baik. Mereka saling basmi satu sama lain, sama-sama ingin berkuasa. Sehingga kehidupan konon seperti rimba belantara dimana hukum yang berlaku “siapa yang kuat dialah yang menang”.

Akhir-akhir ini didaerah kita NTB, suasana -dunia kependekaran- ini menjadi marak lagi. Berbagai aksi kekerasan dipertontonkan terang benderang. Di Lombok Barat kita disuguhi aksi penyerangan Jema’at Ahmadiyah, di Lombok Tengah kita saksikan masyarakat saling serang antar kampung. Kemudian di Mataram baru saja terjadi, mahasiswa dibunuh oleh penjaga kampus berwajah “preman”. Semua kejadian Ini menimbulkan korban, baik jiwa maupun harta.

Soo.. hukum itu jadi ‘in lagi, “siapa yang kuat dialah yang menang”, rupanya kita lupa bahwa hari ini kita tengah berada di zaman yang demikian berbeda. Hukum Tarzan itu telah lama tergantikan oleh hukum modern bernama Undang-Undang Dasar yang memuat Hak Asasi manusia, toleransi, musyawarah dan pluralisme. Jadilah saat ini hukum berlandaskan kemanusiaan, memberi ruang bagi orang lain untuk hidup, berkreasi serta menikmati kenyamanan dan keamanan.

Kata kuncinya adalah, saling memahami. Segala persoalan semestinya tidak diselesaikan dengan “otot” tapi “otak”. Berfikir yang sehat dan rasional untuk mencapai kebaikan bersama. Saya kira tidak ada salahnya kita luangkan waktu beberapa detik atau menit saja untuk berdialog atau musyawarah daripada kita marah-marah, saling serang, saling tusuk bahkan saling bunuh. Terlalu na’if, kemarahan atau emosi jelas-jelas menimbulkan permasalah baru maka semestinya kita tanggalkan dan mendahulukan hati dan otak yang rasional dan cerdas.

Bukankah Nabi telah jauh-jauh hari mewanti-wanti “Ummatku jangan kamu marah!”. Berkali-kali rasul mengulanginya “jangan kamu marah-jangan kamu marah”! karena marah selamanya tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Penolakan ATM Kondom

Tentu satu hal yang amat arif ketika seseorang tidak misuh-misuh (marah-marah) karena disebut fundamentalis ataupun liberalis.
Dua ideologi yang cukup mempengaruhi reaksi kita pada hal-hal yang amat kecil sekalipun. Ya , ATM Kondom itu misalnya.


Kata ‘fundamentalis’ sejatinya adalah sebutan bagi orang-orang yang mooh atau ogah atau alergi dengan modernisasi, lalu dengan membanting wajah, mereka bermaksud kembali ke asas atau dasar, baik dasar agama, budaya, atau lainnya. Kemudian Liberalis adalah sebutan bagi orang-orang yang cenderung menerima modernisasi, menerima sistem yang berstandar nilai kepantasan dan aktif berinteraksi dengan perangkat-perangkat modernisasi baik berupa teknologi ataupun yang bersifat kehidupan sosial (social life).
Tolakan orang-orang fundamentalis pada modernisasi bisa kita lihat pada Aksi-aksi terorisme yang dilakukan kelompok ini di belahan dunia barat dan timur. Serangan 11 September di Amerika, Serangkaian peledakan bom di Indonesia seperti Bali, Mariot Dll, terakhir bom London dan Mesir yang terjadi beberapa hari lalu. Ini semua adalah nyata-nyata bentuk penolakan modernisme itu. Cukup beralasan karena aset-aset yang di bom atau diserang adalah simbol-simbiol modernisasi seperti Mall, Hotel, Tempat-tempat hiburan dan kantong-kantong militer.
Tolakan semacam aksi terorisme ini barangkali terlalu besar untuk menggambarkan wajah fundamentalis di NTB, cukuplah beberapa hal substansi yang terjadi tiga tahun terakhir menjadi gambaran riil di daerah ini . Wacana pemberlakuan perda anti maksiat di Mataram, Pemberlakuan syari’at Islam di Lombok Timur dan terakhir penolakan ATM kondom, wajah kita ternyata masih terlalu fundamentalistis dalam pandangan yang lebih elegan dan toleran.
Aksi organisasi islam terbesar di NTB Nahdlatul Wathan yang berstatemen keras menolak keberadaan ATM tersebut tidaklah cukup ilmiah untuk diperdebatkan, karena tidak dilakukan pengkajian dan pemikiran yang mendalam. Bagi saya aksi penolakan ini adalah tindakan ‘ceroboh’. Saya melihat aksi penolakan ini lebih dikarenakan rasa ‘tabu’ terhadap seks termasuk kondom dan sifatnya adalah ke-tabu-an pribadi (personal) semata bukan ketabuan kolektif. Namun ‘Sialnya’ rasa ‘tabu’ pribadi ini kemudian disembunyikan dan agama dimunculkan sebagai dalih strategis pembenaran statemen penolakan tersebut.
Tidak adil rasanya ketika agama diinterpretasi sembarangan (pasnya diplintir) oleh sekelompok orang saja dan kemudian dipaksakan untuk diterima banyak orang, agama adalah milik kita semua. Menginterpretasikan ATM Kondom tentu bukan saja hak sekelompok orang, tak peduli apakah kelompok tersebut ulama, Tuan Guru atau kiyai yang berada dipihak yang menolak tapi hak interpretasi juga berada di pihak yang menerima. Bearada di pihak ini para pekerja seks seperti WTS, Gigolo, Pramuria bahkan diantara sekian banyak Pasangan Suami-Istri (pasutri) yang mendambakan hidup harmonis saya yakin termasuk di kelompok ini. Bahkan menurut saya yang diam sekalipun tetap punya akses untuk menginterpretasi ATM Kondom tersebut.
Satu yang tampak dalam kasus penolakan ATM Kondom oleh Ulama NW ini, agama terkesan telah dipolitisir untuk kepentingan pribadi dalam hal ini mempertahankan ke-tabu-an personal tadi. Ke ranah yang lebih besar kesan yang muncul adalah penolakan terhadap aset dan produk barat. Oleh kelompok islam fundamentalis isu menolak produk barat ini memang telah dikampanyekan lama bahkan habis-habisan. Masih ingat, beberapa produk barat seperti KFC, Coca Cola dan McD tahun sebelumnya pernah diusulkan agar di boikot karena merasa benci dengan barat (baca:boikot produk USA).
Tapi apa lacur kenapa hanya KFC, Coca Cola, McD atau ATM Kondom yang di tolak sementara perangkat-perangkat modernisasi yang lain di terima. Sebut saja handphone (HP) dan Komputer, kenapa teknologi-tekhnologi pendukung aktifitas ini tidak ditolak bahkan secara riil harus di akui konsumsi produk ini justru lebih prospek di negara-negara yang berpenduduk islam besar seperti Indonesia. Rasanya kok terjadi penolakan setengah-setengah.
Satu hal lagi mungkin, wacana-wacana modernisasi seperti liberalisasi, demokrasi, gender, emansipasi, nikah beda agama juga di tolaknya mentah-mentah tanpa reserve alasannya tentu karena wacana-wacana tersebut adalah produk barat oriented. Namun kenapa televisi digunakan, rasionalkah?
Tentu penolakan ATM kondom yang lakukan saudara-saudara saya di Nahdlatul Wathan mendapat kesan yang sama dan yang pasti klaim fundamentalis tak urung harus dialamatkan karena dalam beberapa statemen penolakannya terkesan sangat agamais.
Tapi okelah jika agama harus dipaksakan untuk berbicara masalah ATM kondom itu, maka pertanyaan fundamental -pasnya kaum fundamentalis- yang dapat diajukan adalah apa hukumnya ATM kondom? Ada gak dalam sunnah nabi? Kalau gak ada bisakah dikatakan bid’ah? Atau pertanyaan yang lebih progresif, Sejauhmana Kebaikan (maslahah) dan kejelekan (Mafsadat)-ATM Kondom itu? Apa solusinya jika tidak memakai ATM Kondom, Bagaimana jika kita tidak pakai kondom dalam bersetubuh? Apakah ini tidak akan menstimulasi peminat seks bebas?
Pertanyaan-pertanyaan lain bisa diajukan kemudian, hanya saja tulisan ini bukanlah bahstul masa’il yang memerlukan ‘bongkar-pasang’ kitab kuning ataupun kitab putih. Oleh karenanya saya lebih ingin kongkrit saja dan mengambil metode pengambilan (istimbath) hukum Imam Syafi’i yang konon di madzhabi kaum nahdlatain (dua dahdatul: NW dan NU).
Dalam kitab Ar-Risalah, imam Syafi’i memasukkan 4 tahapan pengambilan (Istinbath) hukum yang dipakai. Yaitu Alqur’an, Al-Hadis, Ijma’ (Konsensus) dan Qiyas (analogi),
Ada empat lagi tahapan yang lain namun cederung di pinggirkan adalah Qaul As-Shabi (perkataan shabat), Urf (budaya/Adat), Istihsan (menganggap baik), Maslahatul Mursalah (positif-negatif).
Menurut Imam Syafi’i keempat tahapan istinbath itu harus diterapkan secara tartib (berurutan). Prosesnya jika dalam Al-qur’an tidak ditemukan jawaban pastinya maka harus dicarikan pemecahannya dalam Hadist Nabi, jika dalam Hadits juga tidak menemukan jawaban maka Ijma Ulama (konsesus) dan Jika Ijmakpun tidak tercapai maka harus menempuh jalan Qiyas (analogi). Empat tahapan lagi sebagai ‘ban serep’ jika qiyas tidak menemukan jalan lagi.
Pada ‘ban serep’ yang empat itu, ada satu tahapan yang barangkali sangat penting untuk kita pakai dalam mengalisis berbagai persoalan modernisasi saat ini yaitu Malahah Mursalah, satu tahapan yang cenderung dipinggirkan Imam Syafi’i. Walaupun demikian dirinya kerap menggunakan tahap ini sebagai pemecahan terakhir sebuah masalah seperti dalam kasus makan babi ketika harus jadi obat atau sebagai penyambung nyawa karena lapar. Atau bolehnya kita berbohong kepada orang yang mau membunuh seseorang yang lari ke arah kita, atau juga membatalkan shalat karena ada si buta yang akan terjerumus kedalam sumur dan Masih banyak lagi.
Terlihat Imam Syafi’i enggan menempatkan Maslahatul Mursalah ini pada urutan awal karena melihat unsur kemudahan yang diutamakan. Walaupun pada akhirnya Syafi’i harus lari ke tahap ini ketika persoalan menemui jalan buntu.
Bahkan jika disimak lebih jauh tentang madzhab-madzhab atau metode-metode pemikiran Islam dari ulama atau intelektual yang lain, baik yang klasik apalagi modern, justru maslahah-mursalah ini dikedepankan sebagai metodologi terbaik dalam penetapan hukum.
Dalam konsep maslahah-mursalah ini terdapat yang dinamakan Maqosid As-Syar’iyah ( Maksud Substansi Hukum). Apa itu Maqosid As-Syar’iyah? Sebetulnya kata ini telah terwakili oleh pemikir-pemikir barat dengan metode hermeneutikanya Derida atau bahkan eksistensialisnya Jean Paul Saltre. Masalah substansi (maqoaid As-asyar’iyah) harus selalu beorientasi perbandingan antara Maslahah (kebaikan untuk ummat manusia) dan Mafsadat/Mudharat (kejelekan).
Yang ingin dicari Maslahatul Mursalah adalah Esensi. Esensi adalah ruh setiap doktrin keagamaan. Menurut Imam Nakhoi pemikir Jaringan Islam Liberal, Maqosidus- Syar’iyah inilah yang harus dicari dalam lipatan-lipatan kitab suci Al-Qur’an. Agar kita tidak sembarangan memberikan tafsir. Oleh karenanya menurut Imam Nakho’i sebenarnya syarat Ijtihad yang paling penting adalah Mengetahui Maqosid As-Syar’iyah itu. Itu saja!
Bagaimana jika kita kembali ke kasus ATM kondom tadi, dengan memakai perangkat istimbath hukum Maslahah Mursalah yang kemudian berujung ke pencarian Maqosid As-Syar’iyah tadi. Apa yang terungkapkan dalam hadis Nabi misalnya tentang larangan mendekati Zina hubungannya dengan memakai ATM Kondom (la taqrabu Az-Zina) sah-sah saja sebagai sebuah doktrin agama. Namun perlu didekati lagi dan dipertanyakamn sejauhmana maslahat-mafsadat (baik/Buruk) keberadaan ATM Kondom tersebut di masyarakat.
Bagi saya, maslahahnya masih lebih banyak daripada mudharatnya atau baiknya lebih banyak daripada buruknya. Gampangnya untuk membuktikan pernyataan ini kita menyusun pertanyaan-pertanyaan. Berapa kira-kira prosentasi anak-anak atau remaja yang beli kondom di ATM tersebut sementara mereka belum menikah secara sah? Lalu berapa kira-kira prosentase kelahiran anak jika tidak memakai alat kontasepsi ini? Kemudian apa solusinya untuk masyarakat yang masih malas memakai kondom, bahkan untuk beli saja malu? Banyak hal yang harus dipertanyakan dan kemudian dijawab tuntas. Sayang sekali tulisan singkat ini hanya bertugas meng-onani saja untuk kemudian dilanjutkan di forum-forum diskusi-diskusi yang lebih besar. Ini lebih baik daripada kita kemaruk memcetuskan statemen-statemen ceroboh yang tidak penting.

Dimuat di Lombok Post, Januari 2006

Udayana! Mau Kemana?

Tiga tahun lalu saya jalan-jalan di seputar Udayana, suasana lengang dan sepi masih terlihat kondusif dimanfaatkan untuk sekedar melepas lelah atau berdiskusi disore hari. Kendaraan bermotor masih terlihat melintas satu dua. Bila pagi dan sore hari saya perhatikan hanya dua sampai tujuh orang saja yang lalu-lalang menikmati pemandangan sambil menghirup udara segar disana. Antara hari libur seperti minggu dan hari-hari biasanya tak tampak banyak perbedaan. Saya tidak bertanya saat itu akan bagaimanakah konstruksi daerah ini tiga tahun mendatang? Masihkah akan terlihat seperti ini?.
Justru pertanyaan itu muncul saat Udayana sudah berubah total. Jalan-jalan tak lagi tenang. Hiruk-pikuk orang-orang lebih riuh rendah dari suara ibu-ibu dipasar, desingan knalpot dan kepulan asap tebal membuat paru kita terbatuk-batuk. Tak ada yang nyaman lagi terkecuali bagi mereka yang memang senang dengan keramaian. Disaat inilah pertanyaan yang sempat tertunda itu muncul kembali. Akan bagaimanakah suasana Udayana tiga tahun lagi? Tepatnya tahun 2008 nanti? Akankah masih kutemui seperti saat ini?.
Jawaban atas pertanyaan saya ini melintas dan membayang ketika pada akhir 2004 dua tahun lalu, Walikota Mataram H. Ruslan, SH. menandatangani persetujuannya atas pembangunan Waterboom didaerah ini. Jawaban saya nampaknya akan sarat subyektifitas. Bagaimana tidak? Saya membayangkan konstruksi Udayana tiga tahun mendatang akan tampak seperti konstruksi areal pantai kute di Bali. ketika saya berkunjung ke daerah kute itu, saya hampir tak bisa membedakan mana siang mana malam, walaupun saya sadar betul, malam tentu gelap dan siang pasti terang. Tapi lain sekali, kehidupan di pantai terpavorit di Bali itu justru terlihat hidup pada malam harinya. Sehingga sore akan terlihat seperti pagi dan pagi akan terlihat seperti sore. Lho kok begitu?
Ya, seperti yang saya saksikan, ketika remang senja mulai merona dipantai itu, gadis-gadis bali yang seksi bahkan “bahenul” akan mulai keluar rumah. Kafe-kafe yang sedari pagi tutup pintu, sore ini akan dibuka lebar-lebar oleh pemiliknya, acara-acara spesial di setiap hotel yang berjejer akan ditabuh bersamaan dengan beranjaknya binatang-binatang siang kembali keperaduan. Lalu daerah ini serta-merta menjadi ramai dengan alat-alat musik, sound system diskotik dan kafe-kafe, gelak tawa pramu wisata dan orang-orang asing serta juga orang-orang Bali yang baru saja melepas tidur siang.
Sungguh subyektif bayangan diotak saya tentang kadaan Udayana dus bakal berakhir seperti Kute Bali yang pernah di Bom Amroni dan kawan-kawannya. Mungkinkah akan demikian? Jawabnya memang sangat mungkin. Apalagi peluang yang ditawarkan Udayana saat ini cukup representatif untuk itu. Jalan Udayana yang langsung tembus dengan bandara selaparang menjadi alasannya. Udayana akan menjadi tawaran awal pariwisata Lombok karena Selaparang saat ini bahkan hingga beberapa tahun kedepan masih tetap menjadi pintu masuk utama. Kata anak-nak muda yang lagi kasmaran “cinta jatuh pada pandangan pertama”. Tentu saja Udayana akan menjadi senjata penarik pariwisata yang paling ampuh setelah Senggigi dan beberapa daerah wisata lainnya di pulau Lombok.
Bayangan saya selanjutnya, Udayana akan menjadi ikon baru bagi pulau Lombok sebagai pengganti “Seribu Masjid” yang memang menurut saya sudah usang dan membuat kita “malu-maluin” saja. Sejatinya pulau Lombok di sebut “Seribu Masjid” karena memang banyak masjid berdiri di daerah ini. Tapi berbalik tegas dengan ikon itu, aksi-aksi kejahatan juga tambah marak, perkosaan dimana-mana, pencuri ayam,sapi sampai uang negara juga tambah banyak, prostitusi semakin ramai, alkohol dan obat-obat terlarang juga tidak sedikit. Walhasil, wajar jika ada selentingan terdengar ikon “seribu Masjid” ditambah-tambah dengan “sejuta maling” atau bahkan “ sejuta WTS”.
Saya juga pernah larut dalam hiruk pikuk kehidupan jalan Malioboro di Yogyakarta, lantas saya berfikir tiga tahun mendatang Udayana mungkin saja akan demikian. Malioboro dan Udayana sama-sama berada tepat di tengah kota. Lintasan jalan yang hanya satu tentu membawa keramaian yang ‘sangat’. Seperti halnya Udayana, Malioboro juga telah membuat Jogja melejitkan dunia pariwisatanya setelah ikon-ikon lain seperti Kraton Yogya, pantai Parangtritis atau Pasar kembangnya (SARKEM).
Saya juga pernah bergelut lama di dunia remang-remang Simpang Lima di Semarang. Betapa Chiblek-Chiblek (sebutan dari pedagang teh poci yang aduhai!) berhasil menarik sebegitu banyak orang berkumpul dikedainya tak lebih dari sekedar minum kopi atau teh poci panas di tambah dengan kerlingan mata bundar si penjual. Saya lantas membayangkan Udayana akan berakhir seperti itu.
Atau juga saya pernah coba-coba lihat kehidupan malam areal prostitusi Dolly di Surabaya yang tenang, damai dengan bertabur cinta di setiap rumah yang ada. Lantas saya melayangkan bayangan kesana.
Entahlah, jalan Udayana yang sekarang kita punyai akan terkonstruksi seperti, Kute di Bali, Malioboro dan Sarkem di Jogja, areal simpang lima di semarang atau seperti areal Dolly di Surabaya. Itu hanyalah bayangan saya yang sarat dengan kemungkinan-kemungkinan.
Namun yang jelas semua itu bisa saja terjadi? Jika tidak tiga tahun, mungkin lima atau sepuluh tahun mendatang. Kata orang Batak “tergantung Sopirnya”, para penumpang tingal manut dan nurut aja mau dibawa kemana oleh si sopir. Sopirnya Walikota Mataram tentu! Tapi yang harus diingat, undang-undang “tergantung sopir” hanya berlaku bagi kendaraan pribadi, lain ceritanya jika yang dikendarai adalah bemo kuning atau bus antar kabupaten yang penumpangnya masyarakat umum? Pastinya giliran si penumpang yang mengatur sopir, “tergantung penumpang” mau dibawa kemana?
Yang ingin saya katakan, Udayana bukan milik segelintir orang, tapi miliknya masyarakat Nusa Tenggara Barat secara umum seperti bemo. Jadi semua masyarakat berhak menentukan akan kemana arah Udayana tiga, lima, atau sepuluh tahun mendatang?
Saya sebagai penumpang pertama menginginkan Udayana dibawa kearah yang lebih baik, berbudaya dan beradab. Keinginan saya Udayana tidak sekedar areal taman tongkrongan anak muda yang gandrung modernitas tapi lebih dari itu sebagai areal pendidikan, pemberdayaan kesenian masyarakat dan yang paling penting adalah sebagai alat memelihara budaya lokal.
Anda mungkin pernah nongkrong untuk sekedar minum kopi di warung Koboi seputar Malioboro Djogja. Kita menyaksikan hal yang luar biasa. Disitu para pegiat seni berkumpul dan menghibur. Terdapat yang melukis, ber-teater, berdiskusi, tadarus puisi, atau sekedar menyampaikan lantunan syair malam cermin kebanggaan pada budaya sendiri. Maka tak heran jika Malioboro Djogja telah menghasilkan banyak seniman handal semisal Sutardji Chalzom Bachri, Rendra atau Taufik Ismail. Malioboro tennyata memberi mereka Inspirasi berkarya dan menulis.
Bagaimana dengan Udayana kita? Gambaran saya, cukup mengkhawatirkan. Disitu kita akan saksikan anak-anak muda beraktifitas lumayan hedonis. Pacaran, hura-hura, balap-balapan sepeda motor, ngeceng dengan tampilan mode busana dan mobil terbaru, dan yang paling mengiriskan Udayana mulai diwarnai transaksi-transaksi gelap barang haram ganja dan gadis penghibur. Sebegitukah?
Lagi saya ingin bertanya, akan dikemanakan udayana tiga,lima atau sepuluh tahun mendatang?
Ditengah gencarnya arus budaya luar yang datang ke NTB, patut kiranya pemerintah dan masyarakat mulai merencanakan prospek Udayana kedepan agar tak sekedar menjadi areal pariwisata yang orientasinya tidak jelas. Kebudayaan NTB hari ini tengah terancaman hilang. Patutlah kiranya Udayana sebagai bagian dari agenda pemerintah memelihara budaya lokal kita. Betapa bahagianya jika Udayana justru menjadi ikon budaya kita yang amat kaya dengan kreatifitas ini, dan bukan justru menjadi pemasok budaya luar yang mengancam budaya NTB kian hilang.[]

Demokrasi Pelosok&Politik Kiai

Hape saya sudah lima kali kedatangan Sort Massage Service (SMS) hari ini. Istimewanya, disamping SMS itu datang atas nama keluarga besar saya juga karena masing-masing dari orang yang beda-beda. Pertama dari ibu, paman lalu misan, bibi dan terakhir dari bapak saya. Isi kelima SMS itu bukan pesan keluarga bahwa ada sanak-saudara yang sakit atau meninggal seperti biasanya, tapi perintah untuk segera pulang kampung karena pemilihan kepala desa akan digelar besok harinya dan saya diingatkan punya suara satu.

Saya geleng-geleng kepala dan mencoba memahami mengapa mereka begitu antusias dalam pemilihan kepala desa tahun ini. Bahkan SMS terakhir dari bapak saya bernada mengancam “Sebole dengan bole kamu harus pulang, ini masa depan desa, saya fikir kamu sudah dewasa” kira-kira begitu isi SMS bapak saya.
Tidak hanya saya yang mengalami hal ini, teman-teman sekampus saya juga punya cerita yang sama. Mereka bahkan ada yang jauh-jauh hari sudah pulang kampung sebelum hari-H pemilihan digelar.

Bagi orang desa yang hidup tahun 2006 ini, pemilihan kepala desa (pilkades) bisa jadi adalah sebuah arena demokrasi paling nyata. Dalam proses pilkades terjadi kompetisi yang bebas, partisipasi masyarakat yang jauh lebih besar ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Pemilihannya juga diselenggarakan secara langsung dengan sistem One Man One Vote.

Tetapi di banyak desa, pilkades yang demokratis itu tak urung harus dibayar dengan harga yang tinggi. Kekerasan meledak ketika kubu yang kalah melampiaskan kekecewaaannya. Tidak hanya kekerasan fisik berupa perusakan dan pembakaran tapi juga kekerasan psikologis dengan merebaknya dendam personal dan komunal antar masyarakat yang sebetulnya bertetangga bahkan masih ada ikatan keluarga.

Satu bulan terakhir saya lumayan aktif membaca koran, dan saya melihat eskalasi kekerasan yang mewarnai pilkades di beberapa kecamatan di Indonesia memang sangat tinggi. Bahkan beberapa hari lalu di tiga kolom yang berbeda sekaligus saya menyimak tiga prosesi pilkades ditiga desa di Lombok Tengah mendapat giliran rusuh.
Ironisnya kejadian ini berlangsung seperti drama yang naskahnya sudah dipersiapkan sebelumnya. Walaupun aparat kepolisian melakukan penjagaan, sepertinya tidak ada pengaruh, hingga kerusuhan itupun berlangsung dengan sangat “sukses”.

Melihat fenomena kekerasan yang mengiringi Pilkades ini, apa yang bisa kita komentari? Sayapun membuka-buka draft Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah serta juga draf tata cara pelaksanaan pilkades yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten beberapa waktu lalu. Saya berharap menemukan jawabannya sisitu, barangkali ada peraturan yang janggal atau salah. Dan ternyata tidak ada, secara konstitusional Pilkades dirancang pemerintah dengan prinsip yang sangat demokratis. Disitu misalkan disebutkan pemilihan dilaksanakan secara langsung, jujur dan adil serta melibatkan masyarakat secara penuh. Ditahap praksisnya sayapun melihat, pilkades berlangsung dalam suasana fair. Ditambah dengan pemandangan antusiasme ribuan masyarakat yang tidak lagi hanya jadi penonton tapi aktor sekaligus.

Namun mengapa Demokrasi Pilkades itu diwarnai kekerasan? Apakah demokrasi memang cenderung mengakibatkan permusuhan? Atau ini karena “miskinnya” pemahaman masyarakat pelosok tentang demokrasi itu sendiri?.
Untuk sementara waktu banyak masyarakat yang memberi jawaban dengan Asumsi terakhir. Karena kelompok yang kalah dinilai gagal menjadi good Looser atau menerima kekalahan secara sportif. Namun masyarakat lainpun menyangsikan Karena kekerasan dalam pilkades, sebetulnya dipengaruhi banyak faktor termasuk sorotan pada kebijakan struktural pemerintah yang kurang tepat.

Demokrasi Liberal Versus Demokrasi Pelosok

Pertama-tama saya ingin mengatakan jauh sebelum konsep demokrasi liberal dirumuskan para pakar politik, sebetulnya masyarakat desa sudah punya sistem demokrasi tersendiri yang saya sebut demokrasi pelosok. Demokrasi pelosok adalah sebuah sistem demokrasi yang menitikberatkan pengambilan keputusan berlandaskan kearifan lokal masyarakat setempat. Beberapa yang dapat kita kenang misalnya tradisi Rembug di jawa, Begundem di Lombok atau budaya Beriuq di Kalimantan.

Beriuq, Begundem atau Rembug adalah proses musyawarah yang sangat demokratis, semua elemen masyarakat desa diundang terutama yang dianggap tetua desa, mereka bermusyarah secara tradisonal dan mencapai kata mufakat dengan sangat baik. Dalam sistem ini, yang berlaku adalah kontrak sosial berupa tata krama, tata susila dan tata cara sebagai rule of law yang harus diikuti oleh setiap warga.

Tata krama dan tata susila menjadi sebuah kearifan lokal dalam konteks demokrasi yang menjunjung tinggi toleransi, kesantunan, kebersamaan dan lainnya. Sementara tata cara menjadi sebuah aturan yang mengatur mekanisme pemerintahan, pembagian waris, mengatasi persoalan tanah, pengairan dan sebagainya.

Secara aplikatif, hal ini terpraktekkan sempurna semisal dalam pemilihan lurah. Para tetua desa, tokoh masyarakat dan para kepala keluarga berkumpul mengadakan musyawarah sederhana untuk mewadahi seluruh aspirasi masyarakat tentang siapa lurah yang akan dipilih. Jika proses musyawarah berjalan alot dan menyita waktu berhari-hari, maka secara spontan ibu-ibu akan memfasilitasi pembiayaan pemilihan lurah dengan gotong royong atau masak bergiliran. Ketika acara makan-makan berlangsung, suara-suara aspirasipun terus mengalir dan menambah susana kekeluargaan yang sangat kondusif.
Tapi zaman terus bergerak dan berubah. Modernisasi hadir secara serentak dan mulai mengenalkan masyarakat tentang konsep demokrasi baru yang kita sebut demokrasi liberal. Masyarakat juga dikenalkan dengan berbagai macam lembaga desa yang juga baru seperti BPD dan lainnya. Modernisasi ini masuk seakan tanpa aling-aling sekaligus filter dari masyarakat sendiri. Sehingga memorak-porandakan demokrasi pelosok yang berbasiskan kearifan lokal itu. Ia segera tergantikan dengan sistem demokrasi liberal termasuk yang kita lihat sekarang, pemilihan secara langsung dan partai-partai politik masuk ke desa dengan bebas.

Tentu saja hadirnya demokrasi liberal ditengah masyarakat ini tidak bisa dipisahkan dengan terbitnya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Undang-undang yang semula diciptakan untuk tujuan terbangunnya sistem demokrasi yang total dari pusat hingga desa ternyata justru menjadi biang keladi kerunyaman demokratisasi itu sendiri.

Dalam memberlakukan undang-undang itu pemerintah juga sepertinya terlalu sporadis dan “memaksa” serta tidak mempertimbangkan kemampuan sistem demokrasi lokalitas yang sudah ada.
Resiko langsung dari “pemaksaan” Undang-undang ini dapat kita saksikan dengan terganggunya relasi sosial masyarakat desa yang kadung telah baik. Kemenangan seorang kandidat kades yang sangat ditentukan oleh dukungan suara individu mengakibatkan polarisasi dibasis-basis komunal. Jadilah, pergolakan politik tidak hanya melibatkan aktor-aktor kandidat kades tapi melebar ke konflik antar kampung dan antar individu dan secara otomatis merusak hubungan kekeluargaan, kekerabatan ataupun ketetanggaan.
Selain problem relasi sosial itu, uang juga menjadi masalah tersendiri dalam pilkades. Setiap calon kades bisa diyakini mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Minimal, sekitar dua bulan penuh, calon kades harus mengeluarkan “biaya operasional” untuk jamuan, uang makan, rokok, bensin dan lain-lain.
“Biaya operasional” ini dianggap sebagai kewajaran, yang secara diam-diam juga dimanfaatkan oleh warga desa. Banyak warga yang bertandang ke rumah calon kades untuk sekadar cari rokok dan makan. Ini riil. Kalau ada calon kades yang tidak melakukan open house bisa dipastikan dia tidak akan didukung. Bentuk uang lainnya yang kotor adalah praktek politik uang yang dikeluarkan oleh calon kades untuk membeli suara pemilih. Bisa berbentuk sumbangan pembangunan fasilitas kampung atau sembako seperti beras, gula, supermi bahkan kain sarung.

Politik uang ini bukan peristiwa asing lagi karena terjadi di banyak desa. Karena uang memegang peran penting dalam pilkades, maka sekarang banyak kades yang menolak peraturan pembatasan jabatan kades hanya lima 5 tahun, tapi 6 tahun, sebab masa yang pendek ini belum cukup untuk mengembalikan modal suksesi yang telah dikeluarkan
Apakah perpecahan antarwarga, konflik, dan politik uang yang cenderung muncul dalam pilkades di beberapa desa akan begitu saja dibiarkan? Tentu saja tidak. Kalau mau ditangani bagaimana caranya? Yang paling ekstrem menurut saya, adalah mengembalikan lagi model demokrasi liberal “Undang-undang” itu menjadi model demokrasi pelosok. Gampangnya, kepala desa tidak lagi dipilih secara langsung tetapi dihasilkan melalui proses dialog yang sarat dengan tradisi-tradisi lokalitas seperti rembug, Begundem atau Beriuq.

Saya fikir sudah saatnya memberikan kemandirian bagi masyarakat desa untuk memilih madzhab demokrasinya sendiri. Jika tidak, maka kita telah merusak tatanan yang sudah nyaman menjadi tidak nyaman, yang bertetangga menjadi musuhan dan yang berkeluarga menjadi pecah belah.[]

***************************************************************************************
***************************************************************************************

Politik Kiai

Disebuah negara imajiner, Kang Tohari tiba-tiba keseleo lidah bilang, “Kiai yang berpolitik praktis seketika itu otomatis tak pantas disebut Kiai lagi”. Karena omongannya yang cukup berani itu, Kang Tohari digugat oleh Kang Martopacul, Mas Matri dan Den Besus.
“Kamu ini kelewatan; berani ngomong sekeras itu tentang kiai”. Kata mas mantri mengawali gugatannya. “Iya, apa kamu lupa kiai adalah ulama, yang tak lain adalah entitas pewaris para nabi” ujar Kang Martopacul mendukung. “Sepakat, kamu jangan asal ngomong. Coba beri penjelasan mengapa seorang kiai menurut kamu tak pantas menggeluti urusan politik. Apa urusan seperti itu termasuk perkara haram?” tambah Den Bagus lagi.
Kang Tohari yang diserang dengan kata-kata bak air hujan menubruk atap seng itu menjadi gemetaran. Tapi ia mencoba menjawab tegar. “Begini, pertama saya ingin katakan bahwa saya menyesal telah ngomong sekeras itu tentang kiai. Kalau bukan karena cinta saya kepada kiai dan lembaga kekiaian saya tidak akan ngomong sekeras itu” Kang Tohari mencoba membela diri.
“Kamu ngawur! Cinta kiai kok omongmu begitu keras terhadap sebagian dari mereka. Ini bagaimana?” Kejar Mas Mantri.
“Maafkan saya mas. Omongan saya kemarin itu berangkat dari segi hakikat kiai dan kekiaian. Menurut saya, dari segi ini kiai memang kurang pas berpolitik”
“Kok” kata mas mantri dengan mata membulat.
“Iya, sampeyan barusan bilang bahwa kiai itu pewaris para nabi. Sampai disini saja sudah janggal, mosok kiai mau turun derajat ngurusi politik yang dalam kenyataannya merupakan ajang pergumulan antar kepentingan golongan bahkan pribadi. Kiai sepatutnya cukup menjadi penjaga moral saja lah!”. Tangkis Kang Tohari mantap.
“Termasuk moral para politisi” sela Den Bagus.
“Ya, politisi dari semua golongan. Seorang kiai semestinya berdiri ditengah-tengah menjadi figur yang netral. Kalau kiyai sudah berpolitik, berarti dia sudah pro terhadap salah satu golongan. Ini artinya, kiai itu harus siap “bertengkar” dengan kiai lain yang memihak digolongan berbeda bukankah ini artinya kiai menurunkan drajatnya sendiri?”. Ujar Kang Tohari merasa menang.
Setelah membaca cerita dalam buku Ahmad Tohari Mas Mantri Menjenguk Tuhan itu, saya kok merasa ada persamaan dengan yang saya alami didesa beberapa waktu lalu. Jika Kang Tohari menggugat kiai, saya lebih dekat lagi, yang saya gugat bapak saya sendiri.
Gugatan saya juga sama beralasannya dengan Kang Tohari, selain karena perasaan cinta terhadap orang tua saya itu, juga sepertinya saya tidak ikhlas melihatnya dijadikan bulan-bulanan politik pemilihan kepala desa (pilkades) yang sedang berlangsung. Dan gara-gara itu, seperti ujar kang Tohari, ia seakan mengorbankan kehormatan dirinya dimata masyarakat. Paling tidak ini ditunjukkan dengan semakin berkurangnya kuantitas jama’ah yang mau mendengar pengajian-pengajiannya setiap pagi selepas subuh.
Saya sudah memberinya peringatan dengan bahasa yang mungkin lebih keras dari Kang Tohari.
“Bapak itu Maqomnya (tempat) lain, tugas bapak cukup mengaji, bahas kitab kuning, ngapain ikut-ikutan politik” kata saya suatu hari.
Namun, jawaban bapak ternyata tak kalah garang dengan Kang Martopacul, Mas Matri dan Den Besus. “Saya punya kewajiban membimbing masyarakat memilih kepala desa yang benar sesuai dengan Al-qur’an dan Hadist” tandas bapak menimpali saya bernada lumayan tersinggung.
“Tapi siapa yang jamin?, jika kepala desa yang bapak dukung dan bapak mengajak masyarakat mendukungnya, setelah menjadi kepala desa nanti akan betul-betul baik?” Tanya saya tak mau kalah.
Suasana menjadi hening. Bapak terlihat mengerutkan kening dan menunduk. Tiba-tiba saya merasa bersalah telah terlalu keras berkata seperti itu. sayapun melanjutkan kata-kata saya ”Mohon maaf pak, saya hanya khawatir saja, dalam politik pilkades ini bapak sekadar ikut-ikutan, dan akhirnya bapak hanya jadi bulan-bulanan saja ketimbang menjadi pemain sungguhan”.
Mendengar omongan saya itu, bapak terlihat berfikir keras. Saya tidak tahu ia faham dengan bahasa saya atau tidak. Tapi pagi harinya isi ceramah bapak cukup mengehentak hati saya. Ia bilang mulai hari itu, ia tidak akan memihak pada siapa-siapa. Lebih dalam lagi, Ia menganjurkan masyarakat supaya memilih dengan hati nurani. Tepatkah pilihan bapak saya?

Kiai dan Film Lion Battlefield

Pemikiran saya menjadi lain setelah mendiskusikan sebuah film dokumenter Lion Battlefield bersama kawan-kawan aktivis di Mataram. Film yang berkisah tentang politik dunia fauna ini berhasil menyedot energi saya untuk faham benar peran politik setiap warga negara ini, tak terkecuali para kiai dan bapak saya itu.
Dalam sebuah adegan, film itu menggambarkan aksi sekelompok gajah yang mengambil sikap apriori terhadap hiruk pikuk politik dunia binatang. Walau sebenarnya ia mempunyai kekuatan yang bahkan dapat menandingi kekuatan sang raja hutan sekalipun. Namun ternyata gajah samasekali tidak memiliki insting politik berkuasa. Sehingga predikat si raja hutan tetap saja dimiliki singa.
Sikap apriori seperti itu memberi dampak positif dan negatif bagi kehidupan sang gajah. Negatifnya ia tak lebih sebagai pemain figuran. Tak mempunyai peran signifikan. Dan cenderung tak menunjukkan eksistensi dirinya kecuali saat adegan merobohkan pohon-pohon dikala musim kemarau datang dan rumput-rumput menjadi kering. Tapi letak positifnya gajah tak mempunyai musuh satupun. Ia menjalani hidup dengan enjoy, tak ada beban apapun ditengah megahnya imperium kekuasaan yang dibangun singa. Tugasnya hanya satu, melengkapi rotasi ekosistem alam yang berkelindan secara harmonis.
Setelah melihat gajah, saya melirik politik para kiai. Walaupun saya tidak mengatakan kiai harus seperti gajah (maaf!). Namun paling tidak dari sikap apriori gajah sang kiai bisa belajar. Tugas kiai tentu saja menyeru moral. Sebagai pewaris para nabi, tugas kiai adalah berdakwah, menyampaikan pesan-pesan Tuhan. Diluar itu ia bertanggungjawab memerankan diri sebagai bagian dari ekosistem sosial yang profesional dengan maksud agar kehidupan manusia tetap harmonis seperti harmonisnya alam.
Pendapat saya ini ternyata mendapat bantahan dari kawan dekat saya. “Kamu ini sama saja dengan Kang Tohari, terlalu ekstrim!” katanya beberapa saat menjelang diskusi berakhir.
“Tidak ada salahnya kiai atau bapakmu berpolitik. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah konteks kiai itu berpolitik. Apakah dia dalam posisi terhegemoni atau justru terkooptasi?”. Tambahnya lagi.
“Ah bahasamu terlalu tinggi aku tidak ngerti” kata saya.
“Maksud saya begini, kan ada kiai yang berpolitik didasari oleh rasa tanggungjawab pada masyarakatnya, namun sang kiai kadang merasa ruang gerak dakwahnya terlalu sempit sehingga tidak cukup signifikan menghasilkan perubahan. Oleh sebab itu, kiai model begini memilih jalur politik “resmi” atau konvensional, ini saya sebut kiai yang terhegemoni”
“Lalu, yang satunya” kejar saya penasaran.
“Ada kiai yang memang sejak awal terkooptasi politik. Dia sekedar ikut-ikutan, pengen pesantrennya dapat sumbangan atau minimal pesantrennya sering dikunjungi pejabat. Lalu sang kiai ikhlas-ikhlas saja melakukan kampanye gratis lewat pengajian-pengajiannya”. Jelas teman saya itu panjang lebar. Saya sungguh tidak meragukan komentar-komentar teman saya itu, sebab saya tahu teman itu sedang kuliah di Pascasarjana Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta. “Soo pasti dia lebih jago” fikirku.
Saya lalu mikir, dimana posisi bapak kalau demikian? Jika bapak ikut politik dengan mendukung salah satu calon kepala desa itu, demi ketulusan niat andil memperbaiki desa? Berarti saya berdosa dong telah menghentikan bapak nimbrung dipolitik!. Tapi jika memang tujuan bapak ikutan nimbrung sekedar ikut-ikutan? Semoga saja saya masuk syurga karenanya!. “Sayang, saya terlalu cepat memvonis” ujar saya dalam hati. Seandainya ada kesempatan, saya malah ingin menyuruh bapak berpolitik saja, bahkan mencalonkan diri sekalian jadi kepala desa. Ups!.[]

Kunonton Film "luther king"

Analisis Film “Luther”
Tanggal 14 Setember 2006 Pukul, 12:19 Dini hari
Di Kostku Jl. ….Pejeruk Kebon Bawak

Martin Luther King adalah seorang ahli teologi asal jerman. Berawal dari kegelisahan teologis –dalam film itu diterjemahkan dengan kata “depresi- yang luther alami pada usia sangat muda, yang kemudian menuntun cita-cita menjadi seorang biarawan. Ia meninggalkan Jerman menuju Roma tanpa sepengetahuan ayahnya. Ia mulai masuk gereja katedral disana. Iapun diterima pihak gereja dengan senang hati. Pada segmen cerita, luther berjalan-jalan ditengah keramaian kota Roma, disitulah ia menemukan banyak sekali ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi. Kota roma digambarkan penuh dengan wajah masyarakat yang hedonis. Di seantero pasar mislnya kita dapat menyaksikan para peneta yang melepas “kependetaannya” dengan menikmati para pekerja seksual. Terdapat juga pendeta yang menjual “ide-ide” pesan-pesan ilahiyah untuk mencari uang. Disana ia tidak cukup antusias melihat ketimpangan-ketimpangan itu. Ia murung dan mulai berfikir “negatif” tentang Roma dan greja yang semula ia agung-agungkan. Ia memandang dengan jelas betapa gereja sekaligus pendetanya telah menjelmakan kristen menjadi agama yang salah kaprah, “murtad” dari ajran bible.

Karena tidak tahan melihat ketimpangan-eimpangan sosial Roma yang disebabkan gereja dan pendeta, Luther- yang bernama lengkap dalam film Murder Martin Luther-memutuskan untuk kembali ke orang tuanya di jerman. Ia kembali menjalani hidup seperti baisanya. Tergambar misalnya luther membantu ayahnya mengepel lantai hingga mengkilap. Menemani ayahnya membudidayakan tawon “madu”.

Tiba-tiba pada suatu hari, luther diberitahu ayahnya bahwa ia telah di serahkan untuk belajar teologi di universitas Lepsigh. “sudahah kau baca perjanjian baru luther?” demikian pertanyaan sang ayah. Luther diam dan ayahnya melanjutkan “kamu bisa baca itu di lepsigh, kamu akan belajar teologi disana” tambah sanga ayah.

Akhirnya luther belajar di universitas lepzigh. Suasana jerman sangat jauh beda dengan yang ia saksikan di Roma. Di sekolah pendeta itu, para penghuninya banyak yang justru sangat gemar mlakukan gerakan-gerakan sosial dengan di semangati injil. Tergambar misalnya sorang teman baru luther yang bermaksud membeli kayu bakar di salah seorang perempuan bernama hana karena ia kasian melihat aak hana yang jika kayu itu tidak dibelinya, sia anak tidak akan dapat makan untuk hari itu.

Luar biasa. Itylah tanggapan luther dengan jerman pertama kali. Luther sosok yang cerdas dan pandai berdebat. Di gambarkan dalam pertemuan di dalam kelas dengan dosen teologinya, ia mempertanyakan dimana posisi otoritas kristen yunani dalam mata kuliah yang ia pelajari. Sang dosen menjawab asal bahwa Kristen Yunani tidak lagi punya otoritas, yang ada hanyalah kristen Roma. Kristen Yunani tambah dosen tidak terpilih menjadi rasul pengganti dari paus paulus. Oleh karenannya yunani adalah kristen yang Murtad.

Luther sosok mahasiswa yang ulet, serius dan cerdas. Karena prestasinya yang sangat prestisius dalam jangka waktu yang pendek ia telah menyelesaikan studi awalnya yang menjadikan dirinya bergelah profesor. Ia dipercaya pihak universitas untuk mengisi ceramah tentang teologi pembebasan kepada masyarakat jerman.

Pada saatnya, sebuah fenomena yang luar biasa terjadi di jerman. Melalui pgereja perwakilan Katedral Roma, sebuah gereja bernama .......dengan pendetanya .......mengeluarkan sebuah kebijakan yang sangat ambivalen. Yakni dikeluarkannya surat penebusan dosa yang dikeluarkan katedral roma. Surat penebusan dosa itu dijual ditengah masyarakat dengan harga koin. Siapa-siapa yang membeli SPD itu maka ia dijamin oleh para pendeta masuk syurga. Walhasil, rakyat berduyun-duyun membeli SPD itu. Hasil penjualan diberikan ke Katedral Roma dengan bagi hasil bersama gereja perwakilan di Jerman.

Jelas menurut Luther, hal ini diluar kwajaran peran agama. Agama kristen yang intinya “kasih” ternyata menindas, ia ingin kristen menjadi spirit melakukan kbenaran dan kebaikan di ranah sosial. Luther melihat, gereja dan kristen telah melenceng dari peran itu. Oleh karenanya harus dibalikkan.

Pertama-tama luther berkirim surat ke ihak gereja perwakilan di jerman. Ia bertanya kepada pendeta disana, mengapa harus ada SPD itu? Dimana wajah “kasih” kristemn ditengah kesulitan ekonomi yang menghimpit saat itu? Dimana wajah “tuhan” yang maha adil, dan maha benar di di Agama ini?

Mendapat surat demikian dari luther sang pendeta tak mau tahu. Penjualan SPD terus dilakukan dan semakin hari semakin laris. Akhirnya Luther tidak hanya mengirim surat seperti itu, tapi juga melakukan propaganda dengan famplet dan selebaran penyadaran masyarakat.

Ia menulis banyak artikel dan buku yang ditempel-tempel dan di cetak. Karena ulasan-ulasan yang kritis dan tranformatif itu, luther akhirnya kena masalah. Pertama-tama ia dipanggil gereja jerman untuk menjelaskan maksudnya. Kedua kali ia dilaporkan gerekj jerman ke Paus di Roma. Akhirnya Luther di panggil paus di Roma. Namun karena dukungan pemimpin univ. Lepsigh, lutehr tidak berhasil dipanggil. Syukur sekali, lutehr masih bisa melkaukan propaganda di tengah masyarakat.

Sedikit-demi sedikit masyarakat mulai meninggalkan ajakan gereja untuk membeli surat PD itu. Bahkan akhirnaya masyarakat tidak ada ang mau beli. Karena kejadian ini, praksis Luter mendapat masalah besar. Pendeta-pendeta german dimaklumatkan gereja (paus) di Romauntuk msegera menyerahkan Luther, namun lagi lagi tidak bisa karena Luther sudah kadung di sennagi rakyat. Dan akhirnya luther di adili

Si Gadis Bemata Sipit

Aku tulis Jam 11.25 Tanggal 10 Dini Hari

Sosok gadis itu membuat jantungku berdegup. Dia cantik, rambutnya terurai, putih dengan leher meloncong. Matanya agak sipit mirip anak gadis keturunan cina. Aku mengenalnya dari kecil. Namanya Nindri. Awalnya tak pernah terbersit dihatiku untuk mencintainya. Cintaku sebenarnya ada pada Odhen, temannya yang super tomboy. Aku mendekatinya tidak lain untuk mendapatkan sahabatnya itu. Waktu itu, sebenarnya perasaanku pada Odhen, iya dia dipanggil odhen untuk memudahkan teman-temannya agar tak terlalu sulit menyebut raudlatul Jannah.

Lama sebelum aku jadian dengan gadis bermata sipit. Aku telah lebih dulu naksir sama odhen. Sewaktu dia masih sekolah di SPP, malam minggu aku kerap berkunjung tuk sekadar ngobrol barang sesaat. Aku kagum pada odhen. Rambutnya yang lurus pengen sekali ku belai. Dia memang berkulit agak gelap, tapi cantik dan tubuhnya langsing. Seksi dah.

Aku masih ingat, malam itu aku datang dengan sepeda motor pinjaman. “Assalamualikum! Ada odhen?” tanyaku pada temannya satu asrama. “odhen! Odhen ada temanmu!” teriak temannya itu memanggilanya. Sebentar ia keluar dengan kaos agak ketat yang membuat aku semakin kagum. “wah benar-benar cantik” fikirku. Baju biru langit yang ia pakai dengan celana pendek selutut membuatnya semakin mempesona malam itu. kami ngobrol diruang tamu asrama yang memang sedikit luas. Aku lihat jendela terbuka. Tidak ada yang mengganggu. Sorot matanya tajam makanya sulit sekali berhasil kutatap. Hanya sesekali aku mecuri ia lengah dan aku memandang paras yang demikian mempesona.

Odhen selamanya tak mengerti bahwa aku punya perasaan sama dia. Dia sekedar mengira aku suka pada temannya erna, dikampung dipanggil Su, iya su untuk memudahkan panggilan namanya yang panjang terurai. Erna susilawati.

Praktis setiap aku datang, selalu saja yang kami bicarakan su. Hampir tidak ada yang lain. Bahkan ia terkesan membuatku terpojok saat akan mengarahkan pembicaraan ke yang lain. Dia selalu mengarahkan aku untuk berbicara temannya itu. ah...waktupun berjalan cepat. Ketika saatnyapun ia lulus di SPP, dia pulang ke kampung, mulanya akan melanjutkan ke universitas namun kedua orang tuanya psimis dan tak memberi ijin. Iapun mengabdi di yayasan milik bapak sebagai guru MI disitu.

Tiap pulang kampung kami selalu bertemu. Ada rasa yang masih juga tersimpan. Tapi tak sanggup terungkapkan.

Ini cerita tentang Su teman odhen. Semula aku tak pernah berniat menjalin cinta dengannya. Namun seminggu setelah ia dinyatakan lulus di MTS di madrasahku, pak Aleh mengajak kami jalan-jalan liburan sekaligus happy-happy keliling pulau lombok. SU yang merasa bahagia dengan kelulusannya seperti tak menyangka akan ku tembak seperti juga aku tak menyangka hal itu bakal kulakukan dalam perjalanan happy-happy ini.

Seperjalanan, praksis aku memperhatikannya. “Cantik juga cewek ini, dulu aku masih melihat dia kecil banget, sekarang wah!” fikirku dalam perjalan menggunakan mobil pick up itu. sesekali aku curi pandang, diapun begitu. Aku ngerasa saat itu ada kontak batin dengannya. Tapi dia menyembunyikan dibalik tawa-tawa riangnya bersama teman-teman cewek.

Sesampai pantai syurga, aku mencoba menghampiri. Namun perasaan malu sedikit takut menghinggap dihatiku kalut. Apalagi dia seakan betul-betul menghindar dan kelihatannya ingin betul-betul menikamati liburnanya ini. Aku merokok aja dipantai dekat mobil. Sementara dia pergi menjauh bersama teman-temannya. “ah” desahku kecewa. Beberapa temanku sebenarnya sudah tahu jika aku sebenara nya ingin dekat dengan cewek bermata sipit itu. tapi mereka juga tidak berdaya, takut dikira gimana gitu.

Waktu dipantai syurga, berlalu begitu cepat dan kami naik mobil lagi. Perjalan kian mengasikkan ketika mulai memasuki lombok bagian utara. Mobil kami melaju kencang diantara tikungan dan jurang-jurang yang lumayan mengerikan. Di sebuah jurang yang agak terjal mobil bahkan semapat terbatuk, batuk kami takut sekali. Tapi sebagai laki-laki aku ingin tambil dalam nuansa yang cukup berani. Aku tak mau dileehkan mungkin itu fikiranku saat itu.

Kami masuk area wisata air terjun sembalun. Kami turun mobil, sedikit berbelanja dan turun tangga-tangga yang banyak sekali. Si mata sipit berjalan agak menjauh. Aku juga menghilangkan kegundahan dengan berjalan menjaga jarak. Tak lama kami sudah melihat sekelebat curahan air yang terjun menderas, putih dan terlihat indah sekali dibalik pohon-pohon.

Sampai juga kami dibawah. Setelah makan-makan. Anak-anak dan teman-teman semua mandi di air terjun. Mataku sibuk mencari si mata sipit. “kemana dia ya?”
Aku mencari-cari dan ketemu juga. Dia sama teman-temannya lagi mandi tapi tidak di air terjunnya yang besar. Di selokan air yang mengalir limpahan dari air terjun disana dia sambuil foto-foto. Aku sebenarnya ingin mandi tapi aku malu saat itu. ah tidak fikirku. Aku hanya nonton saja di batu pinggir selokan yang agak besar, sambil melihat si mata sipit bermain air dengan teman-temannya.

Aku melihat keindahan lagi, dengan baju ketat dan celana lefis yang dilipat dia mandi basah-basahan. Aku semakin kagum pada anak ini. Hingga aku memutuskan telah punya rasa yang tak bisa ditunda. Akupun berniat ngomong sama dia. Tapi perempuan ini teramat liar. Dia tidak pernah berani mendekat sejangkalpun dari aku. Dia selalu bersama teman-temannya.
Slepas acara mandi-madi, kamipun naik lagi. Kali ini lumayan melelahkan. Aku sengaja memperlambat jalan supaya aku bisa bersamanya, ya minimal menyapanya sekali saja” fikirku dalam hati. Tapi saat aku lebih pelan berjalan dia juga semakin pelan dibelakangku. Aku cepat dia juga cepat. Tiba-tiba dia menyalip aku. Setelah menelaip beberapa langkah seakan ngin mengundang perhatianku, dia memangil-manggil temannya yang masih dibelakang. Kesempatan lai aku melihat keindahan dan kecantikannya. Dia berhenti dan aku lewat saja di depannya, kelihatannya dia mau nunggu temannya supaya jalan bareng. Aku sengaja lagi memperlabat jalanku berharap dia lebih dekat sedikit saja dan aku dapat menyapanya.

Jnaidi temannya kubisiki supaya dia membiarkan si mata sipit jalan sendirian biar lebih banyak peluangku jalan sama dia. Junaidi pun mengabuli. Tapi yah...dia kelihatannya masih takut dan malu sama saya.

Sampai juga kami diatas. Dan kami naik mobil lagi. Ada yang dengan baju yang masih basah kuyup ada juga yang dengan sudah ganti dengan baju yang kering. Sengaja terakhir naik mobil, aku ingin supaya posisiku tepat dan tidak terlalu jauh darinya. Tapi toh belum bisa, saat aku minta duduk disampingya, malah dia segera menutup tempat itu bahkan hingga temannya ditarik-tarik. Kelihatannya takut banget.

Kami menyusuri jalan berliku-liku lagi. Tanpa ada sahut bicara yang lebih mengakrabkan kami. Lebih banyak diam. Hingga ke pantai senggigi. Diantai dengan pasir putihnay itu, aku coba menyapanya. Eits...minum kelapa dong! Ajakku dengan harapan ia mau bergabung. Tapi tak ayal iapun cuek sekedar lewat dan seperti tam memperdulikan aku. Aku hampir tak punya kesempatan. Karena senggigi adalah transit terakhir perjalann ini. Tapi ada sedikit waktu yang tersisa, sehingga aku membisiki sopir supaya berhenti di taman narmada sekedar sebnetar terus langsung pulang.

Di sini aku harus dapat pikirku. Ketika masuk sengaja aku bak pahlawan merelakan duitku dipinjam untuk membeli tikeyt masuk. Aku lihat dia berjalan sama teman ceweknya ke taman bagian atas. Aku ikuti dia. Aku berharap disana ada susana yang lebih terarah untuk aku dapat menyergapnya.

Tapi ayal lagi-lagi dia menghindar. Aku kebingunagan. Aku bialngs sama temanku. Eh tolong bilangin dong aku mau ngomong sama dia. Diapun dipangil-panggil tapi malah marah. Teman-temanku yang melihatku kasian dengan keadaan ini mengusahan kondisi supaya mendukung. Teman ceweknya segera daikarantina, dan diapun disuruh menemui aku yang sedang duduk di tepi kola dengan dihuni banyak ikan.

Aku masih ingat ada camilan krupuk. Aku tanpa peduli meremas-remas keupuk itu dan membuangnya ke air. Dan berharap ikan-ikan itu memakannya. Dia disampingku belum ngomong apa-apa.
Aku mulai pembicaraan.
“napa sih kamu menghindar terus? Takut ya”
“gak sih....cuman gak enak!
“kenapa gak enak?”
“gak tau”
“aku ingin bilang sesuatu sama kamu er”
Dia diam tampak menunggu kata-kataku berikutnya.
“sebenarnya dari dulu aku naksir samakamu, tapi sungguh aku takut mengungkapkannya, aku takut kamu nolak aku. Tapi sekarang aku ingin bilang sama kamu, karena aku gak mau menyesal tidak bilang ini sama kamu. Ya persoalan kamu nolak apa nerima itu terserah kamu yang penting aku sudah mengngkapkannya” aku terus berkata-kata sendiri dan dia hanya diam saja.
“gimana kamu nerima aku?” kataku.
“kan seide kan pacaranya masni?”
“hah...siapa yang bilang?, eh aku gak pernah pacaran sama dia, aku itu sering curhat sama dia, kalo kemaren-kemaren kamu liat aku sering bicara sama dia, itu aku curhatin kamu, kalo gak percaya tanya aja dia”
“tapi itu bilang temen-temen, side pacaran sama masni”
“gak bener sumpah!” pembiocaraan mulai mengalir.
Boleh kok kamu nanya ama dia, entar malem deh tanya dia” bilang aku menyakinkannya.
“ya sudah sayaterima side tapi kalo bener side pacaran sama masni kita putus”
“hah.....” aku bahagia banget. Aku sampai berjingkrak jingkrak kegirangan. Dan kamipun pulang dengan agak romantis dikit didukung teman-teman.[]

Ahir dari perjuangan..kacian deh elu! 2006

Kritik Tanpa Titik

Kamis, 12 Oktober 2006, 09.05 Malem
Indonesia kian Gila;

Barusan aku nonton Editorial Malam metro, DPR lagi-lagi bikin ulah. Judul editorial itu “persekongkolan politisi”. Ini terkait dengan rapat paripurna DPR hari ini yang membahas perihal perdebatan anggota dewan itu tentang perlu tidaknya pemerintah menindak para wakil rakyat daerah (DPRD) yang menggunakan APBD untuk kepentingannya sendiri. Awal dari pembahasan ini disinyalir karena banyaknya anggota DPRD yang dipermasalahkan KPK dan Mahkamah Agung dalam penggunaan APBD selama ini. Untuk diketahui, selama ini banyak kasus penyelengan uang Negara oleh anggota deawan di daerah dianggap wajar. Misalnya, APBD digunakan untuk ONH, Beli telepon seluler, Kapling tanah, beli rumah dan lain-lain. Sehingga DPR Pusat seakan melakukan pembelaan sesama anggota wakil rakyat itu.

***

Saya cukup terperangah menonton berita kemaren sore. “SBY” mendamprat menteri-menterinya terkait persoalan tak kunjung-kunjung terselesaikannya kebakaran hutan di berbagai belahan Indonesia seperti di Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan.
“masih bisa ketawa-ketawa melihat asap seperti ini” demikian kata SBY ketika memasuki ruang rapat di Istana Negara.
Karena kebakaran ini, aktivitas masyarakat menjadi sangat terganggu. Tidak sekedar berakibat bagi warga Negara Indonesia sendiri tapi juga telah merambah ke negeri lain seperti malaisia, pilipinaa dan thailan.
Menurut berita di SCTV, perdana menteri thailan telah mengirim surat teguran kepada presiden SBY terkait peristiwa asap ini. Malaisia juga demikian, salah satu pejabt Malaysia mengatakan Indonesia tidak mampu mengatasi asap ini.
Selepas acara SBY juga melakukan konferensi pers secara langsung, meminta maaf kepada negeri-negeri seberang terkait persoalan asap.

***

berita menarik lain, Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan peringatan agar semua pejabat Negara tidak melakukan Gratifikasi sesame pejabat maupun dengan warga yang lain. Gratifikasi ini kongkritnya adalah kirim mengirim parcel menjelang lebaran. Ditenggarai KPK parcel telah menjadi stimulasi dari membudayanya korupsi di Indonesia. Parcel telah menjadi budaya baru yang bisa menjurus kea rah korupsi.
Catatan saya, Pro-kontra diadakannya parcel kepada para pejabat ini terjadi tidak berimbang. Kebanyakan para pejabat terlihat memilih diam daripada mengomentari.
Bahkan Ikadan kamar dagang Dan Industri yang diwakili oleh Sopian Wanandi menyatakan ketidaksetujuannya atas larangan KPK ini. Menurutnya larangan tersebut tidak berdasar, karena kirim mengirim parcel adalah bentuk dari jalinan silaturrahim. Tapi yang setuju juga ada, seperti yang di lakukan gubernur Sumatera barat Gunawan Pauzi, beliau diberitakan melarang seluruh jajaran pemerintahannya menerima atau mengirim parcel apa saja ke sesame pejabat maupun yang tidak pejabat.
Naif memang terlihat, kita contohkan saja di pemerintah kota Madiun mengeluarkan dana tidak kurang dari 1,5 miliar untuk kirim mengirim parcel ini. Pemerintah daerah ini membuat parcel yang akan dibagikan ke semua jajaran pejabat daerah seharga 100 ribu per-parcel. Sungguh merupakan keterlaluan.
Menurut saya, ini sudah amat mencabik-abik hati nurani. Diakala rakyat terpuruk secara ekonomi, para pejabat Negara justru kirim mengirim parcel dengan dana yang demikian besar. Saya tidak bisa membayangkan senadainya 1,5 mmiliar tersebut dibagi-bagikan ke rakyat kecil yang masih kekuranagn makan. Hah Indonesia semakin gila.[]

Curahan Hati 2005

ROSE dan ERNA
_____________________

Cinta lagi cinta lagi, aku sekarang lagi-lagi harus ketemu dengan seorang perempuan. Rose nama perempuan itu. Perempuan yang memaksa aku untuk mengatakan cinta lagi. Padahal disana sebenarnya ada seorang gadis yang setia sekali menungguku. Aku bahkan telah menjalin cinta dengannya 3 tahun sebentar lagi. Ah aku ingat jadianku di Taman Narmada 30 Juni 2003, gadis itu masih lugu namanya erna susilawati. Saat itu erna baru saja lulus Tsanawiyah masih kecil dong? Iya tapi saat itu aku mau Mataram dia, tapi sekarang sich udah besar (jangan negatif Thingking dong!). eh jadi lupa cerita tentang Rose ya? Cinta lagi-cinta lagi. Ini menunjukkan aku masih terlalu cinta Mataram Erna, iya Erna terlalu melekat dihatiku dan Rose tak akan bisa menggantikannya. Apalagi aku terkesan ada yang kurang kusuka dari seorang Rose. Orangnya sedikit matre dan manja banget. Idih tapi udah kucium dia tuch, sama seperti erna. Sama-sama dapat tempelengan. Haha….tapi gak taulah dimana cinta yang akan utuh.
Yang jelas akusekarang pengen hapy-hapy dulu lah…blm waktunya pacaran serius.

09 Oktober 2005
(Waktu sahur Begadang di YPKM)
______________________________________________________________________________________

Labirin Kepusinganku

telah telah semester 5 tapi kuliahku terbengkalai begitu saja, mungkinkah aku seperti kak ucup yang sampai semester belasan belum juga kunjung wisuda? Semoga tidak. Apa sebenarnya masalahku? Malas? Iya….tapi aku gak mau kayak kak ucup yang sampai sekarang belum wisuda, aku pengen sich aktif kuliah tapi banyak yang belum selesai kukerjakan seperti KRS belum dikumpulkan dll. Aku juga pusing dengan urusan lain seperti Bukunya eful yang kumakan habis uangnya. Hah….
Senin ini kayaknya aku mau sedikit merubah diri, walaupun KRSku belum ku kumpulkan tapi aku mau masuk aja kuliah. Tapi pak nasikin marah gak ya?
Iya sambilan lah aku mau ngurus KRS itu …janji ya jhell ya!

09 Oktober 2005
(Masih begadang neh..waktu yang sama jam 03.10)
_______________________________________________________________________________________

Mencari Eksistensi Ketuhananku

Apa sih sebetulnya yang dicari manusia dalam hidup ini? Betul gak ada kehidupan berikutnya nanti yang dinamakan akhirat itu? Aku sih sebenarnya percaya bahwa nanti akan ada hari perhitungan dengan Tuhan itu? Tapi aku juga masih kalang kabut memaknai Tuhan. Tuhan sangat aneh memang, bisakah aku berfikir lebih jauh tentangnya? Tuhan hanya bisa muncul ketika kita mengalami susah. Iya berarti betul kata Freud “Tuhan hanya hadir ketika kita dalam kedaan susah” selebihnya tuhan tidak akan pernah hadir. Apalagi ketika kita senang. Aku merasakan apa yang kulakukan itu salah. Iya aku tidak sholat, kadang tidak puasa seperti kemarin. Kadang puasa tapi tidak sholat. Hah tuhan marah gak ya? Tapi aku kok tidak pernah merasakan takut pada tuhan itu. Gak bisa kita lihat sich, makanya aku kurang takut. Terus terang aja aku lebih takut tidak menepati janjiku sama pacar daripada janjiku sama tuhan. Atau aku lebih takut di marahi ortuku darpada dimarahi sama tuhan. Tapi memang tuhan beda ya? Tuhan kan kalo marah kita tidak melihat ekspresinya bagaimana sehingga wajar aku gak takut. Coba tuhan muncul dalam bentuk apa gitu, maka aku akan cepat percaya, ah jangan-jangan tuhan itu hanya hayalan yang dibuat-buat oleh manusia sendiri. Bukankah ada yang berpendapat sebenarnya yang menciptakan tuhan itu adalah kita, berarti kita dong tuhan. Iya selama ini aku berfikir sebenarnya tuhan itu adalah hati kita, hati yang jujur. Iya itu mungkin, karena hati tidak pernah rela meakukan salah, sama seperti tuhan yang gak pernah Alpa. Hati siapa yang menginginkan dirinya mencuri barang orang? kan gak ada?. Kongkritnya seperti ini, sebenarnya hatiku mengatakan “ aku harus sholat (menyembah) kepada tuhan karena aku adalah mahluk yang punya kewajiban menyembah” nah ini kan hati yang baik berarti ini tuhan. Tidak pernah ada dalam hatiku misalnya ingin mencuri, pasti hatiku menentangnya “jangan mencuri itu dosa”. Tapi hati kadang kalah dengan keadaan sehingga yang menang adalah keadaan itu. Maka keadaan berarti musuh dari tuhan? Tidak. Kata orang kan ada nafsu, tapi aku tidak percaya nafsu sebelum aku percaya dan menemukan tuhan itu?
Tuhan jangan salahkan aku bertanya tentang dirimu, karena aku tahu kamu menciptakan fikiranku untuk berfikir tentangmu bukan? Ini malam ramadhan ampuni ketololanku jika aku memang tolol, tapi hargai pendapatku jika aku benar dan masukkan aku dalam golongan orang-orang yang engkau kasihi. Amin! Apa itu amin, ah itu kan bahasa arab. Gak enak ah.. lebih enak pakai semoga aja, iya Semoga!

09 Oktober 2005
(Waktu sahur 03.20 Begadang di YPKM)
______________________________________________________________________________________

Nyadar

Apakah gusdur,Caknur, Caknun, Ulil, Zuhairi, baso juga berfikir seperti ini ketika mereka kuliah semester 5 seperti saya ini? Sayang aku kurang baca! Aku benar-benar malas!

09 Oktober 2005
(Waktu sahur 03.25 Begadang di YPKM)
______________________________________________________________________________________

Mengapa aku sulit menulis tuntas

Sudah sebulan ini aku merasa apa yang ingi kukerjakan selalu saja tidak dapat kuselesaikan tuntas. Termasuk dalam aktifitasku menulis. Bayangkan sekitar 50 artikel yang kutulis hanya berjalan satu, dua, tiga paragrap saja. Tidak ada yang selesai. Aku ingin teriak kadang, karena aku kesal dengan diriku mengapa tulisan itu tidak mengalir deras seperti yang dikatakan hernowo dalam bukunya mengikat makna.
Aku banyak ide tapi kadang itu hanya tertulis sebatas judulnya saja, aku ingin coba menyelesaikan permaslahanku ini.
AKu belum jujur, iya menulis itu harus jujur dan ikhlas begitu dikatakan mas hernowo dalam sebuah artikelnya di Plong (satu rubric dalam websitenya Mizan). Aku tidak pernah menulis dengan kejujuran dan keihlasan, kadang aku ingin menulis tapi beberapa ide aku mencuri dari orang lain. Ide yang sudah terlalu lama diungkapkan orang, harapanku semoga tulisan orang tersebut tidak pernah dibaca orang, tapi itu tidak mungkin kan?
Aku menulis tanpa keikhlasan, sering sekali aku menulis karena ambisi. Kadang aku ingin menulis karena aku ingin ikutan lomba, kadang juga aku ingin mendapatkan popularitas saja, kadang aku ingin menulis agar aku dapat honor menulis juga kadang aku berniat menulis karena merasa terlecehkan oleh temanku yang berhasil memuat tulisannya di salah satu media.
Wah aku tidak pernah ikhlas.
Kedua aku jarang sekali membaca, sehingga wacanaku sering mandeg. Eku hanya membaca Koran, itupun aku niatkan hanya untuk mencari bahan untuk sebuah artikelku, aku tidak pernah membaca dengan serius. Yach ini persoalan yang sulit bagiku. Persoalan kemalasan.
Aku ingin menulis dengan ikhlas, jujur dan serius membaca.
Aku juga kayaknya tidak mempunyai ilmu penulisanyang memadai sehingga tulisanku ngawur kesana kemari. Aku amat pusing kalo sudah begini, mau meruntut kemana lagi yach?

11 Oktober 2005
di LPM yang lusuh
______________________________________________________________________________________
Aku pusing apa yang akan kutulis
Tau gak aku pengen banget nulis cerpen tapi madeg terus.napa yach?
______________________________________________________________________________________

Sedang Ingin Bercinta

Aku merindukannya, tapi itu hanya sesaat saja. Ia tak lebih dari cahaya blist yang berkelebat sekejap lalu hilang. Aku sekali lagi jujur, sangat mecintainya, tapi aku tak seperti laki-laki atau wanita lain yang mencintai dan selalu mengingatnya, dirinya bagiku hanya sekedarnya saja.

Malam ini, ketika tak ada lagi cahaya bulan aku seakan kehilangan. Barangkali hanya malam ini waktuku untuknya dapat dihitung dengan menit. Karena sampai karya inipun tertulis aku masih mengingatnya bahkan menjadi inspirasiku. Denyut nafas tidurnya aku rasakan hingga disini, aku melihat, mendengar desah itu karena mungkin dia sedang bermimpi tentang aku. Tapi itu subyektif saja, mungkin juga ia tak pernah mengingatku apalagi merindukanku.

“Ran ...kau cantik sekali malam ini” bisikku diantara belakang punduknya yang putih. Aku mencium aroma yang membuat hati dan fikiranku lain. Aku ingin menciumnya sesaat sebelum aku pulang malam itu, tapi itu tak mungkin karena disana ada paman, bibi dan juga kedua kakaknya. Di kampungku ini, jangankan ciuman, ketahuan dua-duaan saja ancamannya adalah dikawinin. Maka jangan coba-coba bermesraan didalam kamar seperti yang terjadi dikota-kota. Dangger!

Chanel TV itu terus menerus diganti. Kurasakan keelisahan hatinya malam itu. Kadang SCTV, kadang Metro TV, kadang TRANS TV, kadang juga TVRI. Kelihatannya ia tidak konsen nonton sinetron-sinetron itu lagi. Aku yakin dia ingin aku bertindak lebih. Tapi hatinya beontak mengapa aku harus menjadi gadis kampusng yang penuh aturan, tidak boleh ini tidak boleh itu. Bagi gadis usiaku happy-happy dikit dengan sentuh bibir kan gak masalah, gaka bikin hamil juga.

Ini kali kedua aku bertandang selama aku cukup dekat dengannya.
Pertemuan kami yang terpaut waktu, menjadikannya mungkin.

Desember 2005