Friday, January 19, 2007

NTB Miskin Akal Sehat

Tak sengaja saya melontarkan pertanyaan singkat pada seorang intelektual muda NTB yang akhir-akhir ini banyak mengalirkan ide-idenya di koran dan buku, Farid Tolomundu. Pertanyaan saya seputar pandangannya pada kasus IKIP Mataram. Singkat saja ia Jawab “NTB Miskin Akal Sehat”.

Saya merenungi rangkaian “empat kata” dalam jawaban itu hingga larut malam, dan hati sayapun menambah-nambah, selain akal sehat, NTB juga miskin malu, miskin wibawa, miskin harga diri dan pokoke –pinjam bahasa jawa- miskin segala-galanya.

Lihatlah misalnya! betapa lembaga pendidikan kita miskin (tidak) malu digunjing sana-sini, mem-“boking” preman untuk menyikat mahasiswa-mahasiswanya. Lihat juga! betapa wajah kita coreng-mopeng-bopeng dengan korupsi sehingga kita tak punya wibawa. Lihat juga! Betapa kita tidak punya harga diri berjibun menguli dinegeri lain, disiksa, diperkosa dan bahkan ada yang pulang tinggal nama.

Ini pemandangan kita tentang NTB yang miskin-papa, miskin lahir sekaligus bathin. Ungkapan “Miskin akal sehat“ adalah vonis dari komplitnya persoalan kemiskinan yang kita alami. Pemerintah dan masyarakat samasaja, “miskin akal sehat dan miskin nurani”. Misal kita lihat betapa pemerintah ‘miskin” melihat persoalan kemiskinan itu sendiri. Busung lapar dianggap sekadar buah “kecerobohan birokrasi” yang membiarkan media massa menyorot bebas kasus itu. Berbagai upaya dilakukan agar media tidak mendengar dan memperhatikannya lagi. Bahkan diharapkan media juga turut berkolusi dan bersembunyi dibalik selimut tebal pragmatisme wartawan.

Yang paling nyata dan seksi, kasus terbunuhnya mahasiswa di kampus IKIP Mataram baru-baru ini yang konon diselipi agenda suksesi pemilu 2008. Oh tidak...betapa miskinnya akal sehat kita, menukarkan nyawa satu generasi muda berwajah dan berhati putih-bersih sekadar untuk menggelar perhelatan perebutan kursi di daerah ini. Tidak sekedar “miskin”, tapi akal sehat beserta nurani itu telah “hilang”.

Pada setiap perputaran sejarah akan ada masa dimana akal sehat dan nurani mayoritas manusia akan dikalahkan oleh ambisius kekuasaan (politik). Sehingga muncul ketidakadilan dan penindasan. Setelah itu, biasanya akan muncul manusia-manusia lain yang justru berteriak lantang menyuarakannya kembali, tapi jumlah mereka minoritas dan merekapun marginal dan tertindas.

Saya teringat dengan sebuah film dokumenter cukup gress berjudul Luther. Film garapan Camille Thomasson dan Bart Gavigan ini bertutur profil kehidupan Teolog Jerman Martin Luther. Digambarkan, masa hidup Luther adalah masa dimana akal sehat dan keadilan menjadi barang “mainan” segelintir elit politik dan agama. Sangat mengiriskan! Kekuasaan Gereja menjadi rezim absolut yang bejat dan menindas. Surat penghapusan dosa yang terkenal itu dibayar dan hasilnya untuk berfoya-foya penguasa politik dan gereja Roma saat itu.

Agama menjadi opium (candu) yang memabukkan rakyat. Mereka membiarkan diri tertindas dan “tawadluk” melihat akal sehat dilindas-lindas. Luther-pun bangkit melawan. Ruh kristen (gereja) yang “kasih” dibangkitkan. Kebangkitan Luther dilawan dengan represif, bahkan digambarkan upaya pembunuhan Luther. Namun nawaitu Luther terus melawan sampai akhirnya-pun ia menang.

Masa-masa seperti kehidupan Luther saya kira sedang dipertontonkan di NTB. Praktek politik kekuasaan berakibat fatal pada hilangnya kesadaran masyarakat kita. Akal sehat dan nurani menjadi “bumbu” wajib diseputar konflik –konflik ditengah masyarakat. Agama tak jarang dimainkan (lihat kasus Ahmadiyah dan Salafi), Isu etnis juga dikedepankan (lihat kasus IKIP), dan kesemuanya nyaris selalu terselipi kepentingan-kepentingan politis pihak-pihak tertentu.

Memperguat asumsi ini, tidak cukup di “nalar” misalnya, sebuah persoalan internal IKIP Mataram-yang sebetulnya masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan- ternyata melibatkan banyak pihak yang justru tidak ada sangkut pautnya dengan IKIP Mataram. Disitu ada Preman, Walikota hingga angota DPRD. Kasusnya menjadi sangat dramatis, rumit sekaligus politis. Demikian pula dengan kasus-kasus lain, penyerangan Ahmadiyah dan Salafi, Keruhan-kerusuhan antar desa dan kampung, kerusuhan atas nama sentimen agama seperti kasus 171 dan masih banyak lagi.

Waktu yang akan menjawab bahwa memang politik itu “anarkis” dan kejam. Wanti-wanti Pendiri Nahdlatul Wathan Syech Zainuddin Abdul Madjid puluhan tahun silam mungkin perlu dicermati. “sai-sai bepolitik iye licik, si-sai licik iye tegitik, sai-sai tegitik iye melitik”. (siapa yang berpolitik maka dia licik, siapa yang licik maka akan dipukuli, yang dipukuli maka kesakitan). Saya fikir senada dengan yang diungkapkan Jean Paul Saltre “siapa-siapa yang masuk wilayah abu-abu (grey area/politik) maka ia akan menjadi anjing-anjing politik” yang sanggup menjilat, menerkam dan saling bunuh. Jangan pernah berharap akal sehat digunakan dalam politik karena disitu yang ada hanyalah kepentingan semata.

*Dimuat di Harian Lombok Post: Tanggal, 25 September 2006

No comments: