Friday, January 19, 2007

Kau yang kini aku tak tahu

Ruang itu terasa hampa, lambai angin yang menyusup lirih lewat sela-sela jendela kaca tak mampu keringkan pipinya yang basah. aku tertegun dengan kata-kataku, aku telah membuatnya menangis. Tetes demi tetes air matanya terus menerus menimpaku deras sederas kata-kataku saat itu.
"Putus" kata itu yang sempat terucap tanpa rencana, aku ingin menarik ulur kata itu namun aku tak mampu. aku terlanjur mengatakannya, "apa iya ludah yang telah terlempar ku jilat lagi?" fikirku angkuh. Dibatas kesadaran, pelan-pelan jiwaku berbisik,
"Kenapa sich harus terucap kata-kata itu? apa tidak ada kata yang lebih pantas dan urung meneteskan air matanya?". Gelang-gelang sesal melingkariku kalut.
Hari ini aku melihat tak ada keangkuhan lagi dimatanya, tak tersirat sedikitpun garis-garis kebohongan diwajahnya, ia betul-betul mencintaiku, ia sungguh menyayangiku, kenapa aku berbuat seperti itu. Jiwaku tertegun lemas di sudut ketidakwajaran. Aku memang kurang ajar, aku memang penjahat yang telah merobek hatinya tanpa kesadaran. Hari lalu aku mengatakan "iya" dan hari ini aku jadi seorang komprador dan memberanikan diri mengatakan "tidak".
Tapi ini masalah hati aku tak sanggup mengingkarinya, dan aku telah melakukan kesalahan fatal telah coba-coba bermain dengan hati. Hati siapa yang mau dipermainkan? seperti bola yang kadang ditengah, pojok bahkan terjelembab masuk gawang, aku tak mau hatiku diilustrasikan seperti bola yang hanya bisa di tendang tak pernah mampu melawan, diapun pasti begitu, mana bisa hatinya rela di permainkan seperti bola, tapi kenapa aku lakukan itu? Pertanyaan-pertanyaan yang membunuhku.
Di Ruang kuliah kampusku, aku jadian empat bulan lalu, saat itu aku merasa terus menerus dibuntuti bayang-bayang ketakutan, kekhawatiran, harapan dan angan-angan betapa aku akan bahagia bersamanya.
Awal dari sikap iseng saja hari, itu di teras kosku yang lusuh Zakaria tiba-tiba bertanya pada semua orang yang ada, Siapakah yang kau suka sekarang? Jawab dengan jujur, karena kita semua satu keluarga, satu ikatan yang tak mungkin membuka rahasia satu sama lain!
“Zacks, kau telah meluncurkan pertanyaan yang sangat tolol hari ini” batinku lirih saat terkejut mendengar pertanyaan Zakaria yang memang menurutku sangat tolol.
Satu persatu dari sekian teman yang ada kecipratan pertanyaan itu, ada yang jawab asal saja termasuk aku yang hanya bilang “tidak ada”, dan ada juga yang jawab serius dengan menyebut nama panjang kekasihnya bangga.
Jawaban yang terakhir sungguh membuat hati dan fikiranku serentak terguncang “Farid”. Namaku saat itu di sebut Anisatun Muflichah, gadis berjilbab yang sejak lama kami temani sebagai sahabat diskusi. Kontan semua orang bertepuk tangan, entah mengejek atau ucap syukur karena aku dan Anisa akan di pertemukan dalam ikatan cinta. Iseng saja ku jawab tanpa fikir, “Ah.. tapi Anisa, aku yang tidak suka sama kamu” jawaban yang membuat pipi Anisa merah padam, aku yakin ia malu bercampur kecewa mendengar jawabanku saat itu.
Kekecewaan Anisa kukira akan berakhir dengan berakhirnya pertemuan hari itu, tapi tidak, kekecewaan itu berlarut membuntuti hari-hari kami. ia semakin menjauh dariku, keanehan-keanehan dalam dirinya mulai terlihat, setiap percakapan dengan teman dekatnya selalu muncul ungkapan kekecewaaan tentang ketidakpercayaanku pada dirinya yang konon hari itu ia katakan serius.
Suatu hari kulihat Anisa berjalan sesenggukan sambil membenamkan wajahnya dibalik bahu kawannya Firda, aku sempat ingin bertanya ada apa? Namun Firda yang juga teman dekatku dengan isyarat bibir berucap lirih “Dia nangis Rid” bisiknya tak terdengar sedikitpun sambil melambaikan tangannya menyuruhku mendekat..
Hatiku lantas bertanya, kenapa ia menangis?kenapa Firda memberiku isyarat supaya mendekat? apa memang ia menangis karenaku? lalu aku telah berbuat apa padanya?, ah persetan....toh dia bukan apa-apaku, bukan adikku, bukan pacarku, dia hanyalah seorang gadis lugu teman diskusi yang hatinya tersangkut di dahan-dahan. Tapi ...apa iya aku setega itu? Tidakah aku sebagai teman harus menghargainya, mendengar apa gerangan yang tengah menimpanya?.
Dipojok kampusku kulihat Anisa menyandarkan kepalanya dibahu Firda sambil terus sesenggukan menahan isak tangisnya. Segera saja Firda kuberi isyarat supaya menyingkir dan aku bisa bertanya padanya tentang apa saja.
“An....ada apa? kok nangis? Ada masalah ya dengan air mata itu?” sedikit ledekku dengan maksud menghiburnya, siapa tahu lucu. Tidak ada jawaban sedikitpun.
“An sakit ya?” tanyaku lagi. Masih saja ia benamkan kepalanya dalam-dalam seolah-olah ia tak ingin melihatku lagi.
“An kok kamu diem aja, ngomong dong ada apa?......kamu sakit ya?” kuulang pertanyaanku dengan sedikit memaksa. Dan tiba-tiba wajahnya diangkat dan aku bagai dieksekusi busur panah yang siap menerjangku. Sorot matanya yang tajam tak terganggu sedikitpun dengan rembesan air matanya yang terus menetes.
“kalo iya mau apa dan kalau tidak mau apa?” pertanyaan yang betul-betul memuat kemarahan, dan membuat lidahku tertekuk tiga tak mampu menjawab. Aku coba memutar otak mencari kata-kata yang pas untuk membuatnya senyum sedikit saja.
“Aku sakit Rid” katanya lemas.
“Yach...kamu sakit apa An sahabatku?” aku menjawab dengan nada berharap ia mau curhat..
“Sakit dada.....” katanya singkat sambil menekuk kedua lengannya seperti orang kedinginan. Ku coba garisbawahi kata-kata ‘sakit dada’ yang diungkapkannya, aku faham bahwa ada maksud disana yang aku maknai saat itu ‘sakit dada’ adalah sakit hatinya karena aku tak mau mempercayainya bahwa dia betul-betul mencintaiku.
“An sakit dada kan bisa bermakna ganda, sakit dada beneran atau sakit hati? Jawab! ” suruhku ingin memastikan. Lama aku menunggu jawabannya, sampai kakiku tersa kesemutan, dan segera ku berdiri seperti hendak pergi.
“DUA-DUAnya” jawaban yang membuatku tambah faham dan sekarang aku betul-betul faham.

***

SEUSAI magrib aku dan teman-temanku seperti biasanya mendatangi Islamic Center tempatku menimba ilmu-ilmu agama. Sore itu teman-temanku terlihat semangat sekali, tentu hal ini membuatku bertanya-tanya, apa kiranya tema sore ini sehingga mereka terlihat senang dan bersemangat?. Teman-teman yang relatif seumuran denganku memang sedang greget-greget-nya mencari solusi bagaimana mencintai yang baik agar tidak terjerumus pada hal-hal yang dilarang agama. Contoh nya Arif temanku satu ini memang sudah beberapa minggu dikejar-kejar cewek bernama Shalatiyah. Sholatiyah benar-benar jatuh hati pada arif karena segala sikap dan tindak-tanduknya selalu sejalan dengan keinginannya. Shalatiyah senang dengan cowok yang gaul tapi islami, suka belajar agama dan itu semua ada pada diri arif. Walaupun begitu sungguh arif tak mau tergoda, ketakutannya pada Hadist Nabi yang mengatakan ‘la taqrabu az-zina’ jangan kau coba-coba mendekati Zina, karena itulah ia tidak mau menanggapi serius perasaan shalatiyah itu. Namun sejatinya ia juga suka dengan Shalatiyah, hanya saja dirinya masih bingung.
Kerap Arif menghampiriku dan menceramahiku dengan larangan-larangan supaya jarakku dengan Anisa di perenggang sedikit, karena terlalu dekat bisa-bisa lerlempar ke lembah Zina seperti kata Nabi itu. Tapi tak lama ia menceramahiku, tanpa sadar ia telah berbicara sendiri dan curhat kepadaku, sejujurnya ia ingin bertanya bagaimana mencintai, dicintai dan mendapat Ridlho Allah? Karena kutahu Arip juga sedang mengalami deraan asmara yang sama-sama berat. Walaupun demikian kadang aku berkomentar dan mencari-cari apologi, Bahwa setiap kali aku bertemu Anisa selalu saja ada Muhrim atau orang ketiga yang menemani kami. “itu kan kata Syari’ah Rif” kataku.
Syech Agif hari itu menceramahi kami dengan konsep-konsep manajemen cinta. Aku jadi teringat lontaran-lontaran pesan Mas Iip Wijayanto dengan buku manajemen cintanya yang hebat itu. Sama seperti Iip -atau entah ia meminjam gagasan Iip- Syech Agif mengatakan bahwa cinta sangatlah penting dan krusial, karena mengapa? Karena setiap manusia selama masih tercatat sebagai manusia normal pasti membutuhkan cinta sebagai stabilisator hati yang resah dan tengah mengalami kesepian.
Cinta sejatinya muncul seiring dengan diciptakannya manusia pertama Adam, Nabi Adam merasakan ada yang kurang didalam syurga yang serba berkecukupan, kekurangan itu dijawab Allah dengan diciptakannya Hawa. Cinta yang di butuhkan Nabi Adam adalah Cinta yang aktif, mencintai dan dicintai.
Mendengar Syech Agif sontak aku tertegun, aku teringat lagi pada Anisa, Cewek baik yang pernah terang-terangan mengungkapkan cintanya padaku. Tentu Anisa juga punya keinginan yang sama, mencintai dan dicintai. Lalu kenapa Anisa hanya bisa mencintai sementara aku tidak mencintainya, aku tidak adil fikirku.
Teman-temanku yang lain juga merenungkan dengan dalam ceramah syeh agif itu, mereka hampir terlanda hal yang sama.
Empat hari sudah kami tidak pernah kumpul-kumpul lagi, kami sama-sama berkhalwat dan memikirkan tentang tindakan sebenarnya tentang bagaimana mencintai dan dicintai.
Diakhir ceramah Syech Agif kami dibuat tambah bingung, menurut syech ada cinta langit dan cinta bumi. Cinta langit adalah mencintai Allah, berjihad dan mencintai Rasulullah. Syech menyitir sebuah ayat yang mengatakan barangsiapa yang mencintai Allah maka harus berjihad fi Sabillillah. Bentuk jihad tidak hanya harus mengangkat senjata kemudian membunuh orang-orang kafir, tapi berjihad juga bisa lewat dakwah, belajar, berbakti kepada orang tua dan masih banyak lagi.
Selain cinta langit yang membuat kami pasrah itu, kami diceramahi tentang cinta bumi, cinta bumi oleh sang Syech didiskripsikan dengan membaca ayat yang artinya katakanlah, Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, karib kerabatmu, harta benda yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu takuti kerugiannya dan tempat-tempat tinggal yang kamu sukai itu, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasulnya dan berjihad dijalan Allah, maka tunggulah Allah sampai menurunkan keputusannya. Sungguh Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang Fasik.

***

Anisa hari itu berdandan rapi dengan jilbab terurai sampai bawah dada. “Anggun sekali cewek pagi ini” Kagumku dalam hati. Dengan setelan jilbab pink dia tampak ceria, tidak seperti dua minggu lalu ketika dia menangis dan merasa di jahati olehku. Hari ini dia begitu antusias menyapa siapa saja yang ia temui.
Sepulang kuliah pagi itu, sungguh ingin sekali kutanyakan tentang perubahan besar yang terjadi dalam dirinya. Tapi sayang hari itu teramat pendek karena kami harus berangkat jum’atan tepat jam 12.00 wita.
Keesokan harinya aku bertekad aku harus bisa menndapatkan jawaban tentang perubahan-perubahan itu.
“An, kamu tidak dendam pada saya?” tanyaku
“Masa’ aku dendam Rid, kan sesama ummat Islam tidak boleh mendendam, gak ngomong tiga hari aja karena dendam kita diancam kafir rid “katanya memberiku penjelasan.
“Lalu apa yang kamu harapkan lagi sama aku An?” tanyaku berharap dia mau mengungkapkan bahwa ia tidak mencintaiku lagi karena sakit hati yang kemarin.
“Rid, Aku yakin ketika hatiku mengatakan aku mencintaimu, maka sesungguhnya kamu juga mencintaiku, tapi sudahlah aku tidak mau terjebak dalam hal ini, cukup kita saling mencintai sebagai teman saja, ku fikir itu sudah lebih dari cukup”.
Aku tambah heran dengan ucapan itu, bagaimana mungkin secepat itu Anisa Berubah. Padahal hari lalu akulah yang menawarkan kata persahaban itu tapi justru dia mau sebagai pacar, sekarang kebalik dia mau dicintai sebagai sahabat tidak sebagai pacar.
Terakhir aku ketahui dari sahabatnya Firda, bahwa ternyata Anisa sekarang sudah gemar ikut ceramah-ceramah agama bersamanya. Kebetulan saja pada pekan lalu dia mendapatkan ceramah tentang manajemen cinta, tema yang sama seperti yang pernah aku terima dengan teman-temanku.

***

“Rid, Ni ada kiriman dari Anisa!” Panggil mamaku yang tengah menyapu teras pagi sekitar jam tujuh. Kuhampiri dia dan akupun terejut karena ternyata Anisa datang ke rumahku, dia bersama firda memang special mengantar sepucuk kertas unggu bergambar kaligrafi arab yang merupakan kata-kata sayyidinaAli Karramallahu Wajhahu. “Habbib Habibaka haunan ma sya’a, an yakuna baghidaka yauman ma, wa abghid hawnan ma asa an yakuna habibaka yauman ma”(Cintai kekasihmu sekedarnya saja karena bisa saja suatu hari dia menjadi orang yang membencimu, dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, karena bisa jadi pada suatu hari dia akan menjadi kekasihmu). Kubalik kertas ungu itu, disana tertera sya’ir Ibnu Qayyim Al-Jauziyah seperti yang pernah dikutip Iip Wijayanto dalam bukunya.

Kupunya sekeping hati yang ditebari cinta
Karena cinta ia rela menghadapi penyiksa
Cinta merebut dirimu dengan pengorbanan jiwa
Kan kutebus pula dengan sesuatu di atas jiwa

Syair Ibnu Qayyim yang menggambarkan kondisi ideal dalam kehidupan kita mencintai dan dicintai “Bumi mencintai langit dan langit mencintai bumi” bukan “bumi mencintai Bumi dan Langit Mencintai langit”. Wassalam.

No comments: