Friday, January 19, 2007

Keikhlasan Menulis

Ada yang belum aku rasakan dalam kegiatan apapun yang aku lakukan. Yaitu keiklasan. Ketika saya membantu orang aku terbentur dengan keihlasan, menulis juga aku terbentur dengannya. Aku belum belajar iklas. Kata buku yang pernah aku baca atau dari orang aku pernah mendengar. Keikhlasan itu bak perumpamaan kita membuang hajat. Tidak ada beban! Tidak ada keinginan mendapatkan sesuatu darinya kecuali membuang hajat. Tidak juga terfikir oleh kita akan mengambil lagi sesuatu yang kita buang. Betul-betul plong.

Ikhlas mungkin berarti rela. Ya rela dengan sesuatu. Misalkan dengan ungkapan “aku rela kamu pergi ke negeri orang” bahasa lainnya “aku ikhlaskan kamu pergi ke negeri orang” sama dengan “aku merelakan uangku yang seratus rupiah kemaren” sama dengan aku ikhlaskan. Tapi bagaimana dengan bahasa yang begini “aku rela menulis buku itu” dengan “aku ikhlas menlis buku itu”?

Tampak terjadi perbedaan walau sedikit. “dalam menulis aku tidak rela” dengan dalam menulis aku tidak ikhlas”. Nampaknya letak perbedaannya pada ruh dari kedua kata itu. Bahasa orang sufi, masih lebih dalam makna ikhlas daripada rela”. Ikhlas sudah pasti rela, dan rela belum tentu ikhlas.

Seseorang yang rela menulis ontologi cerpen untuk amal gempa di yogyakarta belum tentu ikhlas. Mengapa? Karena disitu bisa jadi terbersit dihati ingin mencari popularitas, mendapat sanjungan atau lainnya. Tapi jika ikhlas, hal itu tidak pernah diharapkan. Ya menulis saja, sudah cukup.

Yang sama diantara keduanya, sama-sama berada di hati. Samasekali bukan ada di mulut atau tulisan. Jika hernowo katakan dalam mengikat makna bahwa bada perbedaan dalam berkata dan menulis seperti menulis tidak bisa keseleo sementara bicara bisa saja lifah keseleo barangkali perlu dipertimbangakan. Karena menulis juga bisa keseleo.

Ini artinya mutlak keikhlasan dan kerelaan hanya ada dihati. Hanya orangnya dan tuhan saja yang tahu. Bisakah aku menulis dengan ikhlas?

Konon, menulis dengan ikhlas ada kekuatan spritualitasnya. Buku-buku yang hebat konon ditulis pengarannya dengan ikhlas. Dan pengarang yang tidak ikhlas biasanya bukunya tidak hebat. Bisa jadi, tapi ini asumsi pribadi saya yang kuat, itu benar adanya.

Sehingga saya yakin betul seperti Al-Ghazali, karl mark, lenin, Iqbal, cak nur, Gusdur, Emha, taufik Isma’il, hernowo, D. Zawawi Imron serta penulis-penulis yang bukunya hebat dan dibaca orang seseungguhnya menulis dengan keikhlasan.

Aku punya ambisi kuat untuk menulis, tapi kerap yang muncul ketidakikhlasan. Bayangkan saja, ingin menulis di lombok post hanya modal semangat ingin disanjung atau menunjukkan diri bahwa diri saya pintar. Mencoba menulis di pro kontra (Prokon) aktivis nitan saya supaya dapat honor. Mengapa saya tidak bisa ikhlas? Jawabannya, kemungkinan karena saya memang masih butuh itu. Lalu kapan saya tidak butuh sanjungan, imbalan atau lainnya?.

Menurut pengamatan saya selama ini terhadap beberapa penulis. Umur yang menentukan juga. Penulis-penulis muda jarang ada karyanya yang sangat hebat, justru mereka-mereka yang sudah menginjak 50-an, citarasa tulisan, atau gizi bukunya lebih terasa.

Tapi masak aku menunggu umurku sekian puluh tahun baru aku bisa menulis ikhlas? Aku harus mulai mencoba. Mencoba untuk iklas, dalam apapun.

19 Oktober 2006 (kost dini Hari, pukul 1:33)

No comments: