Friday, January 19, 2007

Penolakan ATM Kondom

Tentu satu hal yang amat arif ketika seseorang tidak misuh-misuh (marah-marah) karena disebut fundamentalis ataupun liberalis.
Dua ideologi yang cukup mempengaruhi reaksi kita pada hal-hal yang amat kecil sekalipun. Ya , ATM Kondom itu misalnya.


Kata ‘fundamentalis’ sejatinya adalah sebutan bagi orang-orang yang mooh atau ogah atau alergi dengan modernisasi, lalu dengan membanting wajah, mereka bermaksud kembali ke asas atau dasar, baik dasar agama, budaya, atau lainnya. Kemudian Liberalis adalah sebutan bagi orang-orang yang cenderung menerima modernisasi, menerima sistem yang berstandar nilai kepantasan dan aktif berinteraksi dengan perangkat-perangkat modernisasi baik berupa teknologi ataupun yang bersifat kehidupan sosial (social life).
Tolakan orang-orang fundamentalis pada modernisasi bisa kita lihat pada Aksi-aksi terorisme yang dilakukan kelompok ini di belahan dunia barat dan timur. Serangan 11 September di Amerika, Serangkaian peledakan bom di Indonesia seperti Bali, Mariot Dll, terakhir bom London dan Mesir yang terjadi beberapa hari lalu. Ini semua adalah nyata-nyata bentuk penolakan modernisme itu. Cukup beralasan karena aset-aset yang di bom atau diserang adalah simbol-simbiol modernisasi seperti Mall, Hotel, Tempat-tempat hiburan dan kantong-kantong militer.
Tolakan semacam aksi terorisme ini barangkali terlalu besar untuk menggambarkan wajah fundamentalis di NTB, cukuplah beberapa hal substansi yang terjadi tiga tahun terakhir menjadi gambaran riil di daerah ini . Wacana pemberlakuan perda anti maksiat di Mataram, Pemberlakuan syari’at Islam di Lombok Timur dan terakhir penolakan ATM kondom, wajah kita ternyata masih terlalu fundamentalistis dalam pandangan yang lebih elegan dan toleran.
Aksi organisasi islam terbesar di NTB Nahdlatul Wathan yang berstatemen keras menolak keberadaan ATM tersebut tidaklah cukup ilmiah untuk diperdebatkan, karena tidak dilakukan pengkajian dan pemikiran yang mendalam. Bagi saya aksi penolakan ini adalah tindakan ‘ceroboh’. Saya melihat aksi penolakan ini lebih dikarenakan rasa ‘tabu’ terhadap seks termasuk kondom dan sifatnya adalah ke-tabu-an pribadi (personal) semata bukan ketabuan kolektif. Namun ‘Sialnya’ rasa ‘tabu’ pribadi ini kemudian disembunyikan dan agama dimunculkan sebagai dalih strategis pembenaran statemen penolakan tersebut.
Tidak adil rasanya ketika agama diinterpretasi sembarangan (pasnya diplintir) oleh sekelompok orang saja dan kemudian dipaksakan untuk diterima banyak orang, agama adalah milik kita semua. Menginterpretasikan ATM Kondom tentu bukan saja hak sekelompok orang, tak peduli apakah kelompok tersebut ulama, Tuan Guru atau kiyai yang berada dipihak yang menolak tapi hak interpretasi juga berada di pihak yang menerima. Bearada di pihak ini para pekerja seks seperti WTS, Gigolo, Pramuria bahkan diantara sekian banyak Pasangan Suami-Istri (pasutri) yang mendambakan hidup harmonis saya yakin termasuk di kelompok ini. Bahkan menurut saya yang diam sekalipun tetap punya akses untuk menginterpretasi ATM Kondom tersebut.
Satu yang tampak dalam kasus penolakan ATM Kondom oleh Ulama NW ini, agama terkesan telah dipolitisir untuk kepentingan pribadi dalam hal ini mempertahankan ke-tabu-an personal tadi. Ke ranah yang lebih besar kesan yang muncul adalah penolakan terhadap aset dan produk barat. Oleh kelompok islam fundamentalis isu menolak produk barat ini memang telah dikampanyekan lama bahkan habis-habisan. Masih ingat, beberapa produk barat seperti KFC, Coca Cola dan McD tahun sebelumnya pernah diusulkan agar di boikot karena merasa benci dengan barat (baca:boikot produk USA).
Tapi apa lacur kenapa hanya KFC, Coca Cola, McD atau ATM Kondom yang di tolak sementara perangkat-perangkat modernisasi yang lain di terima. Sebut saja handphone (HP) dan Komputer, kenapa teknologi-tekhnologi pendukung aktifitas ini tidak ditolak bahkan secara riil harus di akui konsumsi produk ini justru lebih prospek di negara-negara yang berpenduduk islam besar seperti Indonesia. Rasanya kok terjadi penolakan setengah-setengah.
Satu hal lagi mungkin, wacana-wacana modernisasi seperti liberalisasi, demokrasi, gender, emansipasi, nikah beda agama juga di tolaknya mentah-mentah tanpa reserve alasannya tentu karena wacana-wacana tersebut adalah produk barat oriented. Namun kenapa televisi digunakan, rasionalkah?
Tentu penolakan ATM kondom yang lakukan saudara-saudara saya di Nahdlatul Wathan mendapat kesan yang sama dan yang pasti klaim fundamentalis tak urung harus dialamatkan karena dalam beberapa statemen penolakannya terkesan sangat agamais.
Tapi okelah jika agama harus dipaksakan untuk berbicara masalah ATM kondom itu, maka pertanyaan fundamental -pasnya kaum fundamentalis- yang dapat diajukan adalah apa hukumnya ATM kondom? Ada gak dalam sunnah nabi? Kalau gak ada bisakah dikatakan bid’ah? Atau pertanyaan yang lebih progresif, Sejauhmana Kebaikan (maslahah) dan kejelekan (Mafsadat)-ATM Kondom itu? Apa solusinya jika tidak memakai ATM Kondom, Bagaimana jika kita tidak pakai kondom dalam bersetubuh? Apakah ini tidak akan menstimulasi peminat seks bebas?
Pertanyaan-pertanyaan lain bisa diajukan kemudian, hanya saja tulisan ini bukanlah bahstul masa’il yang memerlukan ‘bongkar-pasang’ kitab kuning ataupun kitab putih. Oleh karenanya saya lebih ingin kongkrit saja dan mengambil metode pengambilan (istimbath) hukum Imam Syafi’i yang konon di madzhabi kaum nahdlatain (dua dahdatul: NW dan NU).
Dalam kitab Ar-Risalah, imam Syafi’i memasukkan 4 tahapan pengambilan (Istinbath) hukum yang dipakai. Yaitu Alqur’an, Al-Hadis, Ijma’ (Konsensus) dan Qiyas (analogi),
Ada empat lagi tahapan yang lain namun cederung di pinggirkan adalah Qaul As-Shabi (perkataan shabat), Urf (budaya/Adat), Istihsan (menganggap baik), Maslahatul Mursalah (positif-negatif).
Menurut Imam Syafi’i keempat tahapan istinbath itu harus diterapkan secara tartib (berurutan). Prosesnya jika dalam Al-qur’an tidak ditemukan jawaban pastinya maka harus dicarikan pemecahannya dalam Hadist Nabi, jika dalam Hadits juga tidak menemukan jawaban maka Ijma Ulama (konsesus) dan Jika Ijmakpun tidak tercapai maka harus menempuh jalan Qiyas (analogi). Empat tahapan lagi sebagai ‘ban serep’ jika qiyas tidak menemukan jalan lagi.
Pada ‘ban serep’ yang empat itu, ada satu tahapan yang barangkali sangat penting untuk kita pakai dalam mengalisis berbagai persoalan modernisasi saat ini yaitu Malahah Mursalah, satu tahapan yang cenderung dipinggirkan Imam Syafi’i. Walaupun demikian dirinya kerap menggunakan tahap ini sebagai pemecahan terakhir sebuah masalah seperti dalam kasus makan babi ketika harus jadi obat atau sebagai penyambung nyawa karena lapar. Atau bolehnya kita berbohong kepada orang yang mau membunuh seseorang yang lari ke arah kita, atau juga membatalkan shalat karena ada si buta yang akan terjerumus kedalam sumur dan Masih banyak lagi.
Terlihat Imam Syafi’i enggan menempatkan Maslahatul Mursalah ini pada urutan awal karena melihat unsur kemudahan yang diutamakan. Walaupun pada akhirnya Syafi’i harus lari ke tahap ini ketika persoalan menemui jalan buntu.
Bahkan jika disimak lebih jauh tentang madzhab-madzhab atau metode-metode pemikiran Islam dari ulama atau intelektual yang lain, baik yang klasik apalagi modern, justru maslahah-mursalah ini dikedepankan sebagai metodologi terbaik dalam penetapan hukum.
Dalam konsep maslahah-mursalah ini terdapat yang dinamakan Maqosid As-Syar’iyah ( Maksud Substansi Hukum). Apa itu Maqosid As-Syar’iyah? Sebetulnya kata ini telah terwakili oleh pemikir-pemikir barat dengan metode hermeneutikanya Derida atau bahkan eksistensialisnya Jean Paul Saltre. Masalah substansi (maqoaid As-asyar’iyah) harus selalu beorientasi perbandingan antara Maslahah (kebaikan untuk ummat manusia) dan Mafsadat/Mudharat (kejelekan).
Yang ingin dicari Maslahatul Mursalah adalah Esensi. Esensi adalah ruh setiap doktrin keagamaan. Menurut Imam Nakhoi pemikir Jaringan Islam Liberal, Maqosidus- Syar’iyah inilah yang harus dicari dalam lipatan-lipatan kitab suci Al-Qur’an. Agar kita tidak sembarangan memberikan tafsir. Oleh karenanya menurut Imam Nakho’i sebenarnya syarat Ijtihad yang paling penting adalah Mengetahui Maqosid As-Syar’iyah itu. Itu saja!
Bagaimana jika kita kembali ke kasus ATM kondom tadi, dengan memakai perangkat istimbath hukum Maslahah Mursalah yang kemudian berujung ke pencarian Maqosid As-Syar’iyah tadi. Apa yang terungkapkan dalam hadis Nabi misalnya tentang larangan mendekati Zina hubungannya dengan memakai ATM Kondom (la taqrabu Az-Zina) sah-sah saja sebagai sebuah doktrin agama. Namun perlu didekati lagi dan dipertanyakamn sejauhmana maslahat-mafsadat (baik/Buruk) keberadaan ATM Kondom tersebut di masyarakat.
Bagi saya, maslahahnya masih lebih banyak daripada mudharatnya atau baiknya lebih banyak daripada buruknya. Gampangnya untuk membuktikan pernyataan ini kita menyusun pertanyaan-pertanyaan. Berapa kira-kira prosentasi anak-anak atau remaja yang beli kondom di ATM tersebut sementara mereka belum menikah secara sah? Lalu berapa kira-kira prosentase kelahiran anak jika tidak memakai alat kontasepsi ini? Kemudian apa solusinya untuk masyarakat yang masih malas memakai kondom, bahkan untuk beli saja malu? Banyak hal yang harus dipertanyakan dan kemudian dijawab tuntas. Sayang sekali tulisan singkat ini hanya bertugas meng-onani saja untuk kemudian dilanjutkan di forum-forum diskusi-diskusi yang lebih besar. Ini lebih baik daripada kita kemaruk memcetuskan statemen-statemen ceroboh yang tidak penting.

Dimuat di Lombok Post, Januari 2006

No comments: