Friday, January 19, 2007

Udayana! Mau Kemana?

Tiga tahun lalu saya jalan-jalan di seputar Udayana, suasana lengang dan sepi masih terlihat kondusif dimanfaatkan untuk sekedar melepas lelah atau berdiskusi disore hari. Kendaraan bermotor masih terlihat melintas satu dua. Bila pagi dan sore hari saya perhatikan hanya dua sampai tujuh orang saja yang lalu-lalang menikmati pemandangan sambil menghirup udara segar disana. Antara hari libur seperti minggu dan hari-hari biasanya tak tampak banyak perbedaan. Saya tidak bertanya saat itu akan bagaimanakah konstruksi daerah ini tiga tahun mendatang? Masihkah akan terlihat seperti ini?.
Justru pertanyaan itu muncul saat Udayana sudah berubah total. Jalan-jalan tak lagi tenang. Hiruk-pikuk orang-orang lebih riuh rendah dari suara ibu-ibu dipasar, desingan knalpot dan kepulan asap tebal membuat paru kita terbatuk-batuk. Tak ada yang nyaman lagi terkecuali bagi mereka yang memang senang dengan keramaian. Disaat inilah pertanyaan yang sempat tertunda itu muncul kembali. Akan bagaimanakah suasana Udayana tiga tahun lagi? Tepatnya tahun 2008 nanti? Akankah masih kutemui seperti saat ini?.
Jawaban atas pertanyaan saya ini melintas dan membayang ketika pada akhir 2004 dua tahun lalu, Walikota Mataram H. Ruslan, SH. menandatangani persetujuannya atas pembangunan Waterboom didaerah ini. Jawaban saya nampaknya akan sarat subyektifitas. Bagaimana tidak? Saya membayangkan konstruksi Udayana tiga tahun mendatang akan tampak seperti konstruksi areal pantai kute di Bali. ketika saya berkunjung ke daerah kute itu, saya hampir tak bisa membedakan mana siang mana malam, walaupun saya sadar betul, malam tentu gelap dan siang pasti terang. Tapi lain sekali, kehidupan di pantai terpavorit di Bali itu justru terlihat hidup pada malam harinya. Sehingga sore akan terlihat seperti pagi dan pagi akan terlihat seperti sore. Lho kok begitu?
Ya, seperti yang saya saksikan, ketika remang senja mulai merona dipantai itu, gadis-gadis bali yang seksi bahkan “bahenul” akan mulai keluar rumah. Kafe-kafe yang sedari pagi tutup pintu, sore ini akan dibuka lebar-lebar oleh pemiliknya, acara-acara spesial di setiap hotel yang berjejer akan ditabuh bersamaan dengan beranjaknya binatang-binatang siang kembali keperaduan. Lalu daerah ini serta-merta menjadi ramai dengan alat-alat musik, sound system diskotik dan kafe-kafe, gelak tawa pramu wisata dan orang-orang asing serta juga orang-orang Bali yang baru saja melepas tidur siang.
Sungguh subyektif bayangan diotak saya tentang kadaan Udayana dus bakal berakhir seperti Kute Bali yang pernah di Bom Amroni dan kawan-kawannya. Mungkinkah akan demikian? Jawabnya memang sangat mungkin. Apalagi peluang yang ditawarkan Udayana saat ini cukup representatif untuk itu. Jalan Udayana yang langsung tembus dengan bandara selaparang menjadi alasannya. Udayana akan menjadi tawaran awal pariwisata Lombok karena Selaparang saat ini bahkan hingga beberapa tahun kedepan masih tetap menjadi pintu masuk utama. Kata anak-nak muda yang lagi kasmaran “cinta jatuh pada pandangan pertama”. Tentu saja Udayana akan menjadi senjata penarik pariwisata yang paling ampuh setelah Senggigi dan beberapa daerah wisata lainnya di pulau Lombok.
Bayangan saya selanjutnya, Udayana akan menjadi ikon baru bagi pulau Lombok sebagai pengganti “Seribu Masjid” yang memang menurut saya sudah usang dan membuat kita “malu-maluin” saja. Sejatinya pulau Lombok di sebut “Seribu Masjid” karena memang banyak masjid berdiri di daerah ini. Tapi berbalik tegas dengan ikon itu, aksi-aksi kejahatan juga tambah marak, perkosaan dimana-mana, pencuri ayam,sapi sampai uang negara juga tambah banyak, prostitusi semakin ramai, alkohol dan obat-obat terlarang juga tidak sedikit. Walhasil, wajar jika ada selentingan terdengar ikon “seribu Masjid” ditambah-tambah dengan “sejuta maling” atau bahkan “ sejuta WTS”.
Saya juga pernah larut dalam hiruk pikuk kehidupan jalan Malioboro di Yogyakarta, lantas saya berfikir tiga tahun mendatang Udayana mungkin saja akan demikian. Malioboro dan Udayana sama-sama berada tepat di tengah kota. Lintasan jalan yang hanya satu tentu membawa keramaian yang ‘sangat’. Seperti halnya Udayana, Malioboro juga telah membuat Jogja melejitkan dunia pariwisatanya setelah ikon-ikon lain seperti Kraton Yogya, pantai Parangtritis atau Pasar kembangnya (SARKEM).
Saya juga pernah bergelut lama di dunia remang-remang Simpang Lima di Semarang. Betapa Chiblek-Chiblek (sebutan dari pedagang teh poci yang aduhai!) berhasil menarik sebegitu banyak orang berkumpul dikedainya tak lebih dari sekedar minum kopi atau teh poci panas di tambah dengan kerlingan mata bundar si penjual. Saya lantas membayangkan Udayana akan berakhir seperti itu.
Atau juga saya pernah coba-coba lihat kehidupan malam areal prostitusi Dolly di Surabaya yang tenang, damai dengan bertabur cinta di setiap rumah yang ada. Lantas saya melayangkan bayangan kesana.
Entahlah, jalan Udayana yang sekarang kita punyai akan terkonstruksi seperti, Kute di Bali, Malioboro dan Sarkem di Jogja, areal simpang lima di semarang atau seperti areal Dolly di Surabaya. Itu hanyalah bayangan saya yang sarat dengan kemungkinan-kemungkinan.
Namun yang jelas semua itu bisa saja terjadi? Jika tidak tiga tahun, mungkin lima atau sepuluh tahun mendatang. Kata orang Batak “tergantung Sopirnya”, para penumpang tingal manut dan nurut aja mau dibawa kemana oleh si sopir. Sopirnya Walikota Mataram tentu! Tapi yang harus diingat, undang-undang “tergantung sopir” hanya berlaku bagi kendaraan pribadi, lain ceritanya jika yang dikendarai adalah bemo kuning atau bus antar kabupaten yang penumpangnya masyarakat umum? Pastinya giliran si penumpang yang mengatur sopir, “tergantung penumpang” mau dibawa kemana?
Yang ingin saya katakan, Udayana bukan milik segelintir orang, tapi miliknya masyarakat Nusa Tenggara Barat secara umum seperti bemo. Jadi semua masyarakat berhak menentukan akan kemana arah Udayana tiga, lima, atau sepuluh tahun mendatang?
Saya sebagai penumpang pertama menginginkan Udayana dibawa kearah yang lebih baik, berbudaya dan beradab. Keinginan saya Udayana tidak sekedar areal taman tongkrongan anak muda yang gandrung modernitas tapi lebih dari itu sebagai areal pendidikan, pemberdayaan kesenian masyarakat dan yang paling penting adalah sebagai alat memelihara budaya lokal.
Anda mungkin pernah nongkrong untuk sekedar minum kopi di warung Koboi seputar Malioboro Djogja. Kita menyaksikan hal yang luar biasa. Disitu para pegiat seni berkumpul dan menghibur. Terdapat yang melukis, ber-teater, berdiskusi, tadarus puisi, atau sekedar menyampaikan lantunan syair malam cermin kebanggaan pada budaya sendiri. Maka tak heran jika Malioboro Djogja telah menghasilkan banyak seniman handal semisal Sutardji Chalzom Bachri, Rendra atau Taufik Ismail. Malioboro tennyata memberi mereka Inspirasi berkarya dan menulis.
Bagaimana dengan Udayana kita? Gambaran saya, cukup mengkhawatirkan. Disitu kita akan saksikan anak-anak muda beraktifitas lumayan hedonis. Pacaran, hura-hura, balap-balapan sepeda motor, ngeceng dengan tampilan mode busana dan mobil terbaru, dan yang paling mengiriskan Udayana mulai diwarnai transaksi-transaksi gelap barang haram ganja dan gadis penghibur. Sebegitukah?
Lagi saya ingin bertanya, akan dikemanakan udayana tiga,lima atau sepuluh tahun mendatang?
Ditengah gencarnya arus budaya luar yang datang ke NTB, patut kiranya pemerintah dan masyarakat mulai merencanakan prospek Udayana kedepan agar tak sekedar menjadi areal pariwisata yang orientasinya tidak jelas. Kebudayaan NTB hari ini tengah terancaman hilang. Patutlah kiranya Udayana sebagai bagian dari agenda pemerintah memelihara budaya lokal kita. Betapa bahagianya jika Udayana justru menjadi ikon budaya kita yang amat kaya dengan kreatifitas ini, dan bukan justru menjadi pemasok budaya luar yang mengancam budaya NTB kian hilang.[]

No comments: