Friday, January 19, 2007

REFLEKSI KORUPSI DI NTB

Rasulullah Bersabda : “Barang siapa yang kami angkat menjadi pekerja untuk melakukan suatu pekerjaan dan kami beri upah (gaji), kemudian dia mengambil sesuatu diluar upah yang ditentukan, maka dia dikategorikan orang yang melakukan penghianatan (ghulul)”. Hadist Riwayat Abu Dawud
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Korupsi di Indonesia bak ranjau mematikan, ia telah menjelembabkan Indonesia di dasar keterpurukan, menjamur bak amuba yang menemukan mangsa lalu beranak-pinak, dengan bahasa lain “terungkap satu tumbuh seribu”. Korupsi terlanjur menjadi parasit yang meranggaskan pohon kebangsaan dan kenegaraan kita. Korupsilah yang menjadi alasan substansi Indonesia menjadi negara miskin banyak hutang, negara yang tertindas dan bangsa yang terancam punah dan terpecah-pecah.
Untuk diingat pada akhir tahun 2003 saja Indonesia mendapat predikat negara “paling banyak hutang” yakni sekitar US$134,9 miliar yang dipinjam dari Amerika dan IMF ditambah satu predikat lagi yakni Indonesia masuk dalam deretan “negara terkorup dunia” yang dipublikasikan Tranparency International melalui Corruption Perception Index (CPI). Namun hebat! negara kita tenang-tenang saja. Malah pemerintahnya unjuk gigi berutang lebih banyak lagi dan tindak korupsi semakin menjadi-jadi. Sialnya lagi korupsi ini berpraktek juga di sektor pendidikan yang sebenarnya diharapkan menjadi benteng pertahanan Indonesia masa depan. Apa lacur jika di sektor pendidikan saja sudah terjadi krisis moralitas seperti korupsi, maka dapat dipastikan sektor-sektor lain akan lebih parah dari itu?
Bukan omong kosong jika sektor pendidikan termasuk lahan basah korupsi di Indonesia. Pendidikan dengan pernak-pernik feodalisme birokratisnya telah menumpulkan sistem kontrol masyarakatnya dengan bersembunyi dibalik identitas “sok moralis dan sok suci” “sok pintar dan sok terdidik”. Dan dengan demikian, dunia pendidikan seakan haram terjamah amoralitas atau suci dari tindak kejahatan korupsi. Padahal tidak demikian samasekali, jika ditelusuri lebih dalam, maka akan ditemui sebetulnya tindak korupsi di dunia pendidikan justru tak kalah maraknya dengan yang terjadi di sektor-sektor lain seperti kehakiman, kepolisian atau perbankan.
Hal ini dikarenakan sektor pendidikan seperti sekolah dan kampus termasuk sektor yang mendapat jatah terbilang subur dalam pengadaan barang dan jasa dari pemerintah. Saya mencontohkan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Mataram yang kini telah berubah status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram. Dalam satu tahun anggaran saja tak kurang dari sebelas pos perbelanjaan yang tercatat dalam Daftar Isian Proyeknya (DIP/ sekarang berganti nama DIPA). Ditahun 2004 misalnya total DIP untuk lembaga ini adalah tiga milyar rupiah lebih. Diantara sebelas pos itu secara spesifik dapat disebut misalnya peningkatan perguruan tinggi,administrasi proyek,pengadaan meublair,pengadaan alat laboratorium,pengadaan buku perpustakaan,pembangunan sarana dan prasarana gedung, perawatan gedung pendidikan dan rumah dinas,perawatan gedung kesehatan pendidikan dan banyak lagi yang kesemua itu mayoritas orientasinya lebih ke pengadaan barang dan jasa.
Oleh karenanya wajar bila sektor pendidikan menjadi sangat rawan dan tentu saja “basah” korupsi. Bila kita mengintip analisis Indonesian Procurement Watch (IPW) yang mulai mempublikasikan Tool Kit Anti Korupsi sejak Mei 2005 lalu, maka sektor pengadaan barang dan jasa memang adalah salah satu lahan korupsi paling subur di Indonesia (Komarudin Hidayat, 2005). Alasannya jelas, karena dari total anggaran pemerintah dalam APBN dan APBD ditemui sekitar 60 persen habis untuk pengadaan barang dan jasa. Sementara kebocoran yang terjadi akibat korupsi mencapai angka 10 hingga 50 persen. Sementara itu disektor pendidikan, karena banyak yang dialokasikan untuk pengadaan barang dan jasa diperkirakan angka kebocorannya sekitar 5 sampai 15 persen dari total bocornya anggaran.
Adapun modus operandi korupsi dalam sektor pengadaan barang dan jasa ini secara umum telah di publikasikan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Centre of International Crime Prevention (CICP) dengan istilah “The 10 Coruption Acts” atau sepuluh modus tindak korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di sektor publik yakni : Pemalsuan, Penyuapan/sogok, pemerasan, penggelapan, penyalahgunaan wewenang, sumbangan ilegal, pemberian komisi, nepotisme, pilih kasih dan sindikat bisnis orang dalam (Tool Kit Anti Korupsi bidang pengadaan barang dan jasa versi IPW).
Khusus di NTB, 10 model korupsi dalam pengadaan barang dan jasa tersebut dipastikan sangat banyak terjadi. Bukan koar-koar sebatas wacana, data riil dilapangan dapat kita temui dari analisis dan hasil penelitian beberapa organisasi masyarakat seperti LSM/NGO, Pers dan beberapa elemen masyarakat independen lainnya yang pernah melakukan investigasi terhadap hal ini. Sebutlah misalnya di NTB terdapat Solidaritas Masyarakat Transparansi (SOMASI) NTB yang pernah mempublikasikan hasil investigasinya dalam beberapa kasus penyelewengan dana APBN dan APBD dalam hal pengadaan barang dan jasa di daerah ini.
Seperti yang ditulis Ervien Kaffah salah seorang aktifis SOMASI NTB dalam buku Fiqh Korupsi Amanah dan Kekuasaan (2003), kecenderungan belakangan ini yang terjadi adalah pola pengadaan proyek dengan sistem Investasi atau populer disebut sistem Voor Finance Sharing yang ditafsirkannya sebagai sistem yang ditempuh mengandaikan pengusaha/rekanan melakukan proses pengadaan terlebih dahulu dengan dana sendiri dan secara bertahap pihak pengguna proyek (pemerintah daerah/instansi terkait) akan melunasinya dengan cara mencicil (hal 186-187).
Jika merunut pada undang-undang maka sistem ini jelas tidak ada aturannya, dan cacat secara hukum. Namun walaupun demikian entah darimana pihak pengguna proyek dan pihak penyedia jasa proyek seakan memberanikan diri melakukannya. Asumsi saya, antara keduanya terjadi kong kali kong yang ASAM SENG “Asal Sama Sama Menguntungkan, Asal Sama Sama Senang”.
Sebutlah misalnya seperti yang dicatat Ervien dalam bukunya. Ditahun 2003 saja terdapat sedikitnya 16 proyek di NTB yang dilakukan dengan sistem Voor Finance Sharing yang masing-masing adalah 7 pembangunan Pasar, 5 pembangunan sekolah, 1 pembangunan Rumah sakit dan 3 pembangunan rumah/asrama bersubsidi. Keenam belas proyek “bermasalah” tersebut tersebar di tiga kabupaten/kota yakni Mataram, Lombok Barat dan Lombok Tengah.
Bagaimana dengan tiga tahun terakhir? Antara rentang 2004, 2005 dan 2006 sekarang? Belum ada yang membukukannya seperti yang dilakukan Ervien, hanya saja jika kita rajin mengamati proses pembangunan di NTB, maka praktek korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dengan sistem Voor Finance Sharing bukannya meredup bahkan sebaliknya menunjukkan intensitas yang lebih banyak lagi.
Baru-baru ini Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapeksindo) mempermasalahkan sistem kontrak proyek Voor Finance Sharing yang dilakukan pihak Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram dengan PT. Karya Pratama senilai 107 Miliar rupiah (Lombok Post 17/4). Proyek tersebut diketahui bahkan menggunakan sistem Penunjukan Langsung (PL) yang artinya dilakukan tanpa tender resmi dan jelas-jelas bertentangan dengan Kepres Nomor 80 Tahun 2003 yang mengatur lengkap perihal pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Seperti praktek Voor Finance Sharing umumnya, proyek yang terjadi di IAIN Mataram juga demikian. Nilai proyek sebesar 107 Milyar rupiah dikerjakan oleh pihak rekanan dengan duit sendiri dan dibayar belakangan dengan sistem cicilan. Konon proyek yang sudah dikerjakan sejak dua tahun lalu itu telah menghabiskan duit sebesar 10 Milyar. Sementara itu, karena IAIN belum kunjung bisa membayar, proyek tersebut terpaksa dihentikan oleh pihak rekanan dengan alasan tidak ada dana. Bahkan kabarnya dana pembangunan yang diambilkan dari APBN itu pernah turun namun karena proyek ini dinilai pemerintah tidak prosedural,maka duit tersebut dikembalikan lagi ke pusat. Lebih sialnya lagi aroma korupsi dalam proses ini mau tidak mau menjadi obrolan yang mengiriskan baik didalam maupun diluar kampus Naudzubillah jika korupsi itu memang betul-betul dilakukan oleh orang-orang IAIN!
Namun tentu saja bukan hanya IAIN yang berpotensi melakukan proyek “gelap” macam begini. Kampus Islam ini sekedar saya jadikan contoh kasus karena saya termasuk civitas didalamnya yang mempunyai tanggungjawab mengkritisi. Hanya saja terlepas dari model korupsi apapun dan terjadi di sektor manapun di daerah ini, bagi saya merupakan aib daerah yang harus dibersihkan. Pengawasan yang intensif dan perhatian yang kritis dari semua elemen masyarakat NTB terutama oleh LSM,Ormas,Akademisi,Pers,Mahasiswa dan Tuan Guru serta masyarakat secara umum adalah solusi agar hal ini tak terjadi lagi dikemudian hari.
Dan yang paling penting, jangan kita tampil sebagai pecundang-pecundang ilmiah yang dengan retorika dan bahasa justru menghitamkan wajah sendiri. Tulisan ini sekedar interupsi dari sekian banyak persoalan korupsi yang terjadi di daerah ini. Mengingatkan dan mengkritisi tentu bukan berarti menebar kejelekan (fitnah) bukan?.
Ada baiknya saya mengutip firman Allah yang mewajibkan kita saling mengkritisi dengan konstruktif “Telah dikutuk orang-orang kafir dari Bani Isra’il melalui lisan Dawud dan Isa putra Maryam, disebabkan mereka selalu durhaka dan melampui batas, mereka satu sama lain tidak mau mengoreksi dan mengkritik kemungkaran yang mereka perbuat, sungguh sangat buruk yang mereka lakukan” (Al-Ma’idah: 78-79)

*Dimuat di Harian Lombok Post Dua kali : Tanggal, 30 April 2006 dan 6 Juni 2006

No comments: