Friday, January 19, 2007

Catatan Kematian

TUBUHNYA tipis, sangat pipih. Kulitnya keriput mirip adonan yang membalut sepotong pisang siap goreng. Kuperhatikan pundak dan tengkuk belakangnya, sudah tak terlihat nyata apa bedanya, sama-sama hitam dan tak sedikitpun menunjukkan itu tubuh manusia. Bahkan sepintas, tubuh itu lebih mirip sebongkah dahan kering yang kulihat tergeletak dipinggir pematang sawah ayah sore kemarin. Diranjang bambu tua dialas tikar pandan yang sudah menghitam itu ia tergeletak tak berdaya. Hanya bagian atas yang mirip kalapa kering ditumbuhi rambut yang masih menandakan benda itu sebongkah kepala manusia.


Kemaren pagi, ketika aku memutuskan hati untuk mengunjunginya, aku sudah membayangkan kondisi tubuh ini, tapi sungguh aku tak menyangka sedemikian jauh bayangan itu dengan apa yang terpampang dimataku saat ini.


Namanya Saleh, pertama kali kudengar nama itu disebut ketika aku masih kelas dua sekolah dasar. Orang-orang berhamburan keluar rumah karena mendapat kabar Saleh terseret mobil. Kejadian itu, bagi orang dewasa adalah peristiwa luar biasa, tapi aku dengan masih fikiran kanak-kanak tetap saja bermain kelereng dihalaman sekolah, aku tidak peduli dengan peristiwa itu.


Tiga tahun kemudian aku baru mengerti, Saleh terseret mobil angkutan desa saat pulang sekolah di SMP Bina Bangsa. Kecelakaan itu membuat kaki dan tulang belakangnya patah, dokter memvonisnya mati setengah. Kata dokter nyawa saleh terancam jika tidak segera diobati. Tulang-tulangnya yang patah harus direkatkan dengan platina. Namun orang tua Saleh tak mampu menanggung biaya pengobatan dan operasi berat itu.


Sebelum kecelakaan itu merenggut kebahagiaannya, saleh adalah anak yang pintar. Ia selalu juara satu setiap semester, ia juga sering menyabet piala lomba-lomba tingkat kecamatan dan kabupaten. Tak heran pihak sekolahnya jauh-jauh hari sudah menjanjikannya beasiswa untuknya jika lulus nanti.


Cita-cita saleh juga terbilang tinggi. Ia berniat menjadi Insinyur Pertanian. Alasannya sederhana, Cuma ingin melihat kehidupan petani didesa kami sejahtera dan tak lagi menjadi sapi perah seperti beras dan palawija lain selalu dihargakan murah. Tak sebanding dengan biaya operasioonal pertanian yang dikeluarkan.


Sudah lima belas menit aku berdiri di pintu, tapi aku tak melihat ada gerakan yang menandakan Saleh terjaga. “Dia tidur pulas” fikirku. Aku tak ingin mengganggunya. Saat ibunya tadi mencoba membangunkannya, aku melarang “Biarkan saja bu kasian”.


Dibangku panjang dekat pintu aku mendaratkan pantatku, ibunya yang sudah tua dan dilanda penyakit amnesia menemaniku sembari bercerita tentang kondisi Saleh yang samasekali tak ada harapan untuk sembuh. Uang pengganti pengobatan yang dulu pernah diberikan sopir carry penabrak Saleh katanya tak mampu memperbaiki kondisi tubuhnya. Saleh kini hanya menanti kematian diranjang itu, mati setengah, sudah tujuh belas tahun lima bulan 20 hari.


Diluar rumah awan mengulung-gulung pertanda hujan bakal turun mengguyur. Tapi saleh semakin lelap saja. Harapanku untuk dapat bercengrama dengannya tampak perlu waktu untuk.


“Innalillahi wainna ilaihi rajium..inna lillahiwainnailaihi raji’un” Sayup-sayup suara itu membuyarkan suasana hening antara aku dan ibunya. Itu suara pak Khairi, marbot masjid yang bertugas mengumumkan setiap agenda kampung. Kali ini seperti biasa, jika dimulai dengan salah satu ayat alqur’an itu, sudah bisa dipastikan ada seorang warga lagi meninggal siang ini.


“Ibu, siapa yang meninggal?” tiba-tiba suara dari dalam rumah terdengar keras membuatku tersentak. Saleh terjaga. Segera aku meluncur ke pintu. Ibunya juga serentak menghampirinya. Kulihat tubuh mirip bongkahan dahan itu bergerak-gerak, tangannya yang kecil melambai kearah rak dinding yang tertempel tepat diatas kepalanya. Ia mengambil sesuatu mirip kotak yang terbungkus rapi dengan koran bekas.
Tergesa ia membukanya, sebuah buku berukuran kecil tapi tebal sudah tergenggam ditangannya. Ia tampak bingung, ia berusaha bangkit dengan susah payah. Ingin sekali aku membantunya, “Apa yang kau cari Saleh? Mari kubantu!” tapi itu hanya suara hati, hatiku ciut, takut dan hanya memperhatikannya dari jauh. Posisi tubuh yang tadinya telungkup kini sudah berbalik dan menjenggang dari tikar pandan. Ia singkap tikar lusuh itu dan mengambil sesuatu, sepotong pensil tua.


“Siapa bu?” Ia mengulang pertanyaan itu pada ibunya. Ibunya yang sedari juga memperhatikan mengalihkan pandangannya kearahku. Aku kaget, dari sorot mata perempuan tua itu aku melihat ada selaksa kesedihan tergambar “Beginilah anakku satu-satunya dik” seakan itu yang dikatakan tatapan mata perempuan itu. Tapi aku tak mendengar dan aku membalasnya dengan diam. Saleh masih telungkup, diantara bantal kulihat jelas wajah pucat berkeriput menampakkan kepedihan.


“Bu Sima dari desa Teniga, umurnya 56 tahun, meninggal karena diare” kata perempuan tua itu memberitahu Saleh. Kejadian seperti itu nampaknya sudah sering terjadi sehingga perempuan itu hafal betul redaksi yang harus diucapkannya.
Sementara, tubuh Saleh kulihat bergetar hebat, buku catatan yang digenggamnya juga bergetar. Sementara tangan kanannya yang menggengam pensil mengeras seperti hendak memukul. Sedikit demi sedikit tangan itu mendekati buku catatan. Tubuh yang sedari tadi kulihat tak berdaya kini seperti mendapatkan energi luarbiasa. Tangan kurus itu mampu menulis dengan cepat. Dan dibalik wajahnya suara isak terdengar lirih. Isak tangis yang tanpa air mata.


---o0o—


Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat kerumah Saleh. Sekantong kue tar dan bolu susu kiriman nenek kemaren sore kubawa serta. Aku berdo’a semoga hari ini aku bisa bercakap dengannya. Sepanjang gang menuju rumahnya fikiranku terus melanglang. Hatiku berbisik, betapa malang nasibmu Saleh, ketika remaja-remaja seusiamu dapat hidup dengan keceriaan justru kau hanya bisa menghabiskan waktumu diranjang bambu tua beralas tikar pandan. Kasihan kamu, padahal kata orang-orang kamu orangnya pintar, rajin dan selalu juara disekolah, cita-citamu juga sungguh agung, menjadi insinyur pertanian dan ingin mengangkat kesejahteraan petani-petani kita..


Melihat kondisi Saleh kemaren sore, hatiku ingin berteriak dan menggugat Tuhan. Kenapa tidak orang-orang bodoh, penipu, pencopet, pembohong, koruptor dan semua orang yang suka berbuat jahat yang bernasib sepertimu? Kenapa justru Saleh yang pintar, baik, dan tulus yang kehidupannya seperti ini? Fikiranku terus melayang, hingga kakiku tak terasa menginjak tanah yang tinggal beberapa jengkal lagi dari rumahnya.


“Kenapa kamu ingin menemuiku?” Pertanyaan Saleh tiba-tiba mengagetkanku. Pertanyaan itu meluncur dengan sinis dan menampakkan raut wajah yang sangat tidak suka. Itu yang membuatku ciut. Tatapan matanya begitu menusuk, dalam!.


Dan aku, iya aku baru menyadari pertanyaan itu ternyata begitu sulit kujawab. Kenapa aku ingin menemuinya? Kenapa? Atau Minimal kenapa aku baru mau menemuinya sekarang? Kenapa tidak kemaren-kemaren? Kenapa tidak bulan lalu, tahun lalu, tiga tahun lalu, atau tujuh belas tahun lalu ketika aku masih bisa bersimpati dan memberinya semangat hidup? Kenapa?


Aku terasa bodoh dan tolol sekali. Aku justru tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kenapa aku menemuinya?
“Kamu ingin menghinaku ya?
“Tidak saleh” bantahku.
“Kamu ingin seperti orang-orang itu, menaruh kasian sama aku lalu bilang kasian saleh, begitu?
“Tidak saleh” bantahku lagi.
“Lalu”
“.......”


Aku hanya diam, sementara itu sorot kemarahan dan putus asa terpancar deras dari cekungan matanya yang dalam. Aku tak percaya tubuh selemah ini mampu memancarkan kekuatan yang membuat aku seperti mati. Aku merasakan panas disekujur tubuhku, aku tereksekusi, tereksekusi pertanyaan-pertanyaan Saleh.
“Apa sih sulitnya menjawab pertanyaan itu? Kenapa? Kenapa kamu tidak menjawabku” Kejar Saleh terdengar semakin berat.


“Aku hanya ingin melihatmu, itu saja?” bilangku asal
“Bohong kamu, saya tahu kamu dan keluargamu sudah tahu aku seperti ini sejak puluhan tahun lalu, kenapa tiba-tiba sekarang kamu ingin menemuiku?”
Mulutku serasa kian tertutup rapat dengan todongan itu. Aku akui, aku dan semua keluargaku selama ini tak pernah mengunjungi Saleh, walau rumah kami berdekatan bahkan hanya berjarak gang sepanjang lima ratus meter saja. Tapi kami tak pernah peduli, kami justru mendengar dari cerita orang-orang bahwa Saleh begini, Saleh begitu.
“Ingin menemuimu” kataku menegaskan keinginanku satu-satunya itu.
“Iya kenapa kamu ingin hah” bentaknya. Aku tergagap, keperkasaanya terasa luar biasa jauh melebihi orang-orang normal. Dia betul-betul jengkel dengan jawabanku. Tapi apa yang harus aku jawab, aku hanya punya satu jawaban “Aku ingin menemuimu, itu saja” berontak hatiku hatiku.


“Banyak sepertimu, datang kesini mengaku ingin menemuiku? Tapi setelah kutanya kenapa ingin menemuiku, mereka tidak bisa menjawab? Kalian ingin menontonku? Ingat ya, Aku bukan tontonan? Apakah karena aku seharusnya mati tujuh belas tahun tapi masih diberi nyawa oleh Tuhan hingga hari ini?”
Ocehan Saleh terus menluncur deras dari mulutnya yang kecil, percikan api kemarahan terlihat jelas dari raut mukanya. Ocehan yang membuat jiwaku rasanya lumpuh dan terbunuh. Ada rasa sesal aku menemuinya. Lebih menyesal lagi aku tidak bisa memberi jawab untuk semua pertanyaan-pertanyaan itu.


---o0o—


Minggu pagi ini, aku mengendap-endap melalui pintu belakang. Kutemui ibunya yang sedang menyapu diteras rumah “Aku ingin menemuinya, tapi kumohon ibu tidak memberi tahu dia” bisikku pelan. Kali ini aku datang seperti maling. Sangat tidak sopan memang dan itu bertentangan dengan nuraniku. Tapi ini kulakukan demi menghindar dari pertanyaan pertanyaan yang menyudutkanku seperti kemarin. Pertanyaan-pertanyaan yang membunuh.


Dibalik rak piring tepat di sebelah sisi daun pintu yang terbuka lebar, mataku sangat terang melihat sosok tubuh itu. Tubuh yang lemah tapi memiliki mata yang dapat memancarkan api kemarahan begitu dahsyat hingga aku serasa mati..Mati!.
Sementara, dari halaman depan lamat-lamat kudengar suara dua anak laki-laki menuju kemari. Mereka mengucap salam dan langsung meluncurkan pantat mereka di ranjang pembaringan Saleh. Tangan Saleh diciumnya hormat. Satu diantaranya aku kenal namanya Arif, tetanggaku juga. Tapi yang satunya, aku tak ingat anak siapa itu. Sejak aku masuk SMA hingga kuliah semester tujuh di kota. aku jarang pulang kampung, sehingga wajawar saja generasi seumuran arif banyak yang tidak aku kenal dikampungku.
“Apa kabar kak? Udah dikerjain yang kemaren” kata seorang diantara anak itu. Saleh terlihat mengangguk, sementara Arif mengambil tasnya dan mengambil sesuatu. “Kak, aku yang ini yah” kata anak itu menyerahkan setumpuk kertas kepada Saleh.


Aku bengong sendiri mendengar kata kakan yang terucap dari mulut anak-anak itu. “Kakak! Mereka memanggil kakak” fikirku. Padahal jika tidak salah dengar, ibu Saleh pernah cerita jika Saleh anak satu-satunya. Anak yang dihasilkannya dari perkawinannya dengan pak Khairi yang kini jadi Marbot dimasjid. Mereka bercerai ketika Saleh berumur sepuluh tahun. Karena ketidakcocokan mereka sering cekcok dan pak Khairi yang berwatak keras dengan mudah saja bilang “Saya ceraikan kamu”. Kata itu diucapkannya tiga kali dalam rentang waktu yang sangat singkat. Tujuh bulan mereka langsung talak tiga. Dengan demikian, Ibu saleh dengan Pak Khairi harus berakad nikah lagi jika mereka ingin berkumpul kembali. Tapi pak Khairi kelihatannya enggan mengajak ibu Saleh kembali, ia lebih memilih mengawini janda Malaysia didesa sebelah dan kini pernikahannya itu membuahkan dua anak.


Malam tadi, pak Khairi datang kerumah dan memberitahu ayah bahwa anaknya Fauzi umur 14 tahun meninggal tanpa sebab. Fauzi tidak pernah sakit, kemaren saja Fauzi sempat main-main kerumah ibu tirinya, Ibunya Saleh. Ia bahkan sempat meminta tolong saudara tirinya yang lumpuh itu mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) Matematikanya.
“Yap ...nampaknya kedatangan, dua anak itu juga dengan tujuan yang sama” fikirku. Ibu saleh pernah cerita sama ibuku, Saleh sering didatangi anak-anak. Ada yang minta dibimbing mengerjakan PR, minta diajari sejarah bahkan ada juga yang minta tolong ditulisin surat cinta buat pacarnya. Dan dimata anak-anak itu, Saleh adalah pahlawan. Gara-gara Saleh mereka bisa tertolong dari amukan gurunya disekolah karena kebanyakan mereka malas mengerjakan PR. Selain itu, mereka memandang Saleh orang tercerdas sedunia, lebih cerdas dari Albert Einstein yang mereka kenal. Itu tak lain karena sesulit apapun soal yang mereka ajukan, ditangan Saleh selesai dengan mudah. Dan mereka sangat mengagumi itu. Wajar jika mereka mereka datang hari ini dengan mencium tangan Saleh hormat!.


Jam tanganku menunjukkan angka 09.00, hatiku berdebar kencang menunggu sesuatu luar biasa bakal kusaksikan dari orang lumpuh bernama Saleh itu.
“Ada apa dengan Pak Khairi? Pasti sebentar lagi” fikirku gelisah.
Kulihat anak-anak itu masih bercengkrama riang dengan Saleh, mereka saling tukar cerita yang lucu-lucu, dan merekapun melepas tawa dengan riangnya. Bahkan kulihat satu diantara dua anak itu tak sanggup menahan tawanya, dia memegang perutnya. “Ha...ha...aduh perutku sakit sudah-sudah ceritanya kak” kata anak itu puas.
Tapi Saleh nampaknya belum puas mengocok perut mereka, ia bercerita lagi tentang Abu Nawas negentutin raja dan kisah Cupak-Grantang yang kuat makan sampai perutnya meledak.


Saleh terlihat puas dan menemukan kebahagian yang tak terhingga dari anak-anak itu. Kebahagiaan yang tak mungkin ia temukan dihari dan ditempat yang lain.
Tak seberapa lama, gemerenyah tawa mereka itu berubah menjadi kesunyian, Saleh dan kedua anak kecil itu terdiam. Mereka memperhatikan sesuatu, “Inilah saat-saat yang kutunggu-tungu” fikirku.


Kusisipkan pandanganku ke halaman belakang, kulihat ibu Saleh juga ikut bengong. Sapu lidi ditangannya terlihat menggelepar ditanah. Ia melepaskannya dengan tidak sengaja. Ia juga terkejut. Heran! “Kok bisa, padahal kemarin dia kemari” kurang lebih itu yang bisa kubaca dari komat-kamit kalimat yang perempuan tua itu ucapkan.
Kualihkan pandanganku ke arah Saleh lagi, seperti hari pertama, kusaksikan tubuh Saleh bergetar hebat, buku catatan yang digenggamnya ikut bergetar. Sementara tangan kanannya yang menggengam pensil tua mengeras mendekati buku catatan itu sedikit demi sedikit. Tubuh yang sedari kemaren kulihat tak berdaya kini sekali lagi mendapatkan energi luarbiasa. Tangan kurus itu seperti berubah mejadi kekar berotot. Ia berkeringat dingin


“Fauzi....” kata singkat itu keluar dari mulutnya lirih. Dua anak itu memperhatikan dengan raut wajah ikut sedih, rona kebahagiaan yang baru saja terpancar dari wajah mereka seketika hilang. Wajah itu telah berganti kesedihan, kesedihan yang sangat.
Sementara itu, tubuh Saleh kulihat berkeringat dingin. Buku catatanya diremas-remas, dipilin, lalu jatuh kelantai. Anak itu memungut buku catatan itu pelan, dibukanya lembar terakhir yang baru saja ditulis Saleh.


No : 161
Nama : M. Fauzi,
Umur : 14 Tahun
Sebab meninggal belum diketahui.


Dan Saleh meraung-meraung, menjerit dan meronta. Ia menagis tanpa air mata yang kesekian kalinya. Ia bosan dengan hari-harinya sebagai pencatat kematian. Ia sungguh tak sabar menunggu. Kapan giliran namanya tercatat di buku kematian itu.


Mataram, 31 Desember 2006

Dedicated :To Saleh (Kudoakan semoga kau berbahagia di sisi-Nya, Amin!)

No comments: