Friday, January 19, 2007

Demokrasi Pelosok&Politik Kiai

Hape saya sudah lima kali kedatangan Sort Massage Service (SMS) hari ini. Istimewanya, disamping SMS itu datang atas nama keluarga besar saya juga karena masing-masing dari orang yang beda-beda. Pertama dari ibu, paman lalu misan, bibi dan terakhir dari bapak saya. Isi kelima SMS itu bukan pesan keluarga bahwa ada sanak-saudara yang sakit atau meninggal seperti biasanya, tapi perintah untuk segera pulang kampung karena pemilihan kepala desa akan digelar besok harinya dan saya diingatkan punya suara satu.

Saya geleng-geleng kepala dan mencoba memahami mengapa mereka begitu antusias dalam pemilihan kepala desa tahun ini. Bahkan SMS terakhir dari bapak saya bernada mengancam “Sebole dengan bole kamu harus pulang, ini masa depan desa, saya fikir kamu sudah dewasa” kira-kira begitu isi SMS bapak saya.
Tidak hanya saya yang mengalami hal ini, teman-teman sekampus saya juga punya cerita yang sama. Mereka bahkan ada yang jauh-jauh hari sudah pulang kampung sebelum hari-H pemilihan digelar.

Bagi orang desa yang hidup tahun 2006 ini, pemilihan kepala desa (pilkades) bisa jadi adalah sebuah arena demokrasi paling nyata. Dalam proses pilkades terjadi kompetisi yang bebas, partisipasi masyarakat yang jauh lebih besar ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Pemilihannya juga diselenggarakan secara langsung dengan sistem One Man One Vote.

Tetapi di banyak desa, pilkades yang demokratis itu tak urung harus dibayar dengan harga yang tinggi. Kekerasan meledak ketika kubu yang kalah melampiaskan kekecewaaannya. Tidak hanya kekerasan fisik berupa perusakan dan pembakaran tapi juga kekerasan psikologis dengan merebaknya dendam personal dan komunal antar masyarakat yang sebetulnya bertetangga bahkan masih ada ikatan keluarga.

Satu bulan terakhir saya lumayan aktif membaca koran, dan saya melihat eskalasi kekerasan yang mewarnai pilkades di beberapa kecamatan di Indonesia memang sangat tinggi. Bahkan beberapa hari lalu di tiga kolom yang berbeda sekaligus saya menyimak tiga prosesi pilkades ditiga desa di Lombok Tengah mendapat giliran rusuh.
Ironisnya kejadian ini berlangsung seperti drama yang naskahnya sudah dipersiapkan sebelumnya. Walaupun aparat kepolisian melakukan penjagaan, sepertinya tidak ada pengaruh, hingga kerusuhan itupun berlangsung dengan sangat “sukses”.

Melihat fenomena kekerasan yang mengiringi Pilkades ini, apa yang bisa kita komentari? Sayapun membuka-buka draft Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah serta juga draf tata cara pelaksanaan pilkades yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten beberapa waktu lalu. Saya berharap menemukan jawabannya sisitu, barangkali ada peraturan yang janggal atau salah. Dan ternyata tidak ada, secara konstitusional Pilkades dirancang pemerintah dengan prinsip yang sangat demokratis. Disitu misalkan disebutkan pemilihan dilaksanakan secara langsung, jujur dan adil serta melibatkan masyarakat secara penuh. Ditahap praksisnya sayapun melihat, pilkades berlangsung dalam suasana fair. Ditambah dengan pemandangan antusiasme ribuan masyarakat yang tidak lagi hanya jadi penonton tapi aktor sekaligus.

Namun mengapa Demokrasi Pilkades itu diwarnai kekerasan? Apakah demokrasi memang cenderung mengakibatkan permusuhan? Atau ini karena “miskinnya” pemahaman masyarakat pelosok tentang demokrasi itu sendiri?.
Untuk sementara waktu banyak masyarakat yang memberi jawaban dengan Asumsi terakhir. Karena kelompok yang kalah dinilai gagal menjadi good Looser atau menerima kekalahan secara sportif. Namun masyarakat lainpun menyangsikan Karena kekerasan dalam pilkades, sebetulnya dipengaruhi banyak faktor termasuk sorotan pada kebijakan struktural pemerintah yang kurang tepat.

Demokrasi Liberal Versus Demokrasi Pelosok

Pertama-tama saya ingin mengatakan jauh sebelum konsep demokrasi liberal dirumuskan para pakar politik, sebetulnya masyarakat desa sudah punya sistem demokrasi tersendiri yang saya sebut demokrasi pelosok. Demokrasi pelosok adalah sebuah sistem demokrasi yang menitikberatkan pengambilan keputusan berlandaskan kearifan lokal masyarakat setempat. Beberapa yang dapat kita kenang misalnya tradisi Rembug di jawa, Begundem di Lombok atau budaya Beriuq di Kalimantan.

Beriuq, Begundem atau Rembug adalah proses musyawarah yang sangat demokratis, semua elemen masyarakat desa diundang terutama yang dianggap tetua desa, mereka bermusyarah secara tradisonal dan mencapai kata mufakat dengan sangat baik. Dalam sistem ini, yang berlaku adalah kontrak sosial berupa tata krama, tata susila dan tata cara sebagai rule of law yang harus diikuti oleh setiap warga.

Tata krama dan tata susila menjadi sebuah kearifan lokal dalam konteks demokrasi yang menjunjung tinggi toleransi, kesantunan, kebersamaan dan lainnya. Sementara tata cara menjadi sebuah aturan yang mengatur mekanisme pemerintahan, pembagian waris, mengatasi persoalan tanah, pengairan dan sebagainya.

Secara aplikatif, hal ini terpraktekkan sempurna semisal dalam pemilihan lurah. Para tetua desa, tokoh masyarakat dan para kepala keluarga berkumpul mengadakan musyawarah sederhana untuk mewadahi seluruh aspirasi masyarakat tentang siapa lurah yang akan dipilih. Jika proses musyawarah berjalan alot dan menyita waktu berhari-hari, maka secara spontan ibu-ibu akan memfasilitasi pembiayaan pemilihan lurah dengan gotong royong atau masak bergiliran. Ketika acara makan-makan berlangsung, suara-suara aspirasipun terus mengalir dan menambah susana kekeluargaan yang sangat kondusif.
Tapi zaman terus bergerak dan berubah. Modernisasi hadir secara serentak dan mulai mengenalkan masyarakat tentang konsep demokrasi baru yang kita sebut demokrasi liberal. Masyarakat juga dikenalkan dengan berbagai macam lembaga desa yang juga baru seperti BPD dan lainnya. Modernisasi ini masuk seakan tanpa aling-aling sekaligus filter dari masyarakat sendiri. Sehingga memorak-porandakan demokrasi pelosok yang berbasiskan kearifan lokal itu. Ia segera tergantikan dengan sistem demokrasi liberal termasuk yang kita lihat sekarang, pemilihan secara langsung dan partai-partai politik masuk ke desa dengan bebas.

Tentu saja hadirnya demokrasi liberal ditengah masyarakat ini tidak bisa dipisahkan dengan terbitnya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Undang-undang yang semula diciptakan untuk tujuan terbangunnya sistem demokrasi yang total dari pusat hingga desa ternyata justru menjadi biang keladi kerunyaman demokratisasi itu sendiri.

Dalam memberlakukan undang-undang itu pemerintah juga sepertinya terlalu sporadis dan “memaksa” serta tidak mempertimbangkan kemampuan sistem demokrasi lokalitas yang sudah ada.
Resiko langsung dari “pemaksaan” Undang-undang ini dapat kita saksikan dengan terganggunya relasi sosial masyarakat desa yang kadung telah baik. Kemenangan seorang kandidat kades yang sangat ditentukan oleh dukungan suara individu mengakibatkan polarisasi dibasis-basis komunal. Jadilah, pergolakan politik tidak hanya melibatkan aktor-aktor kandidat kades tapi melebar ke konflik antar kampung dan antar individu dan secara otomatis merusak hubungan kekeluargaan, kekerabatan ataupun ketetanggaan.
Selain problem relasi sosial itu, uang juga menjadi masalah tersendiri dalam pilkades. Setiap calon kades bisa diyakini mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Minimal, sekitar dua bulan penuh, calon kades harus mengeluarkan “biaya operasional” untuk jamuan, uang makan, rokok, bensin dan lain-lain.
“Biaya operasional” ini dianggap sebagai kewajaran, yang secara diam-diam juga dimanfaatkan oleh warga desa. Banyak warga yang bertandang ke rumah calon kades untuk sekadar cari rokok dan makan. Ini riil. Kalau ada calon kades yang tidak melakukan open house bisa dipastikan dia tidak akan didukung. Bentuk uang lainnya yang kotor adalah praktek politik uang yang dikeluarkan oleh calon kades untuk membeli suara pemilih. Bisa berbentuk sumbangan pembangunan fasilitas kampung atau sembako seperti beras, gula, supermi bahkan kain sarung.

Politik uang ini bukan peristiwa asing lagi karena terjadi di banyak desa. Karena uang memegang peran penting dalam pilkades, maka sekarang banyak kades yang menolak peraturan pembatasan jabatan kades hanya lima 5 tahun, tapi 6 tahun, sebab masa yang pendek ini belum cukup untuk mengembalikan modal suksesi yang telah dikeluarkan
Apakah perpecahan antarwarga, konflik, dan politik uang yang cenderung muncul dalam pilkades di beberapa desa akan begitu saja dibiarkan? Tentu saja tidak. Kalau mau ditangani bagaimana caranya? Yang paling ekstrem menurut saya, adalah mengembalikan lagi model demokrasi liberal “Undang-undang” itu menjadi model demokrasi pelosok. Gampangnya, kepala desa tidak lagi dipilih secara langsung tetapi dihasilkan melalui proses dialog yang sarat dengan tradisi-tradisi lokalitas seperti rembug, Begundem atau Beriuq.

Saya fikir sudah saatnya memberikan kemandirian bagi masyarakat desa untuk memilih madzhab demokrasinya sendiri. Jika tidak, maka kita telah merusak tatanan yang sudah nyaman menjadi tidak nyaman, yang bertetangga menjadi musuhan dan yang berkeluarga menjadi pecah belah.[]

***************************************************************************************
***************************************************************************************

Politik Kiai

Disebuah negara imajiner, Kang Tohari tiba-tiba keseleo lidah bilang, “Kiai yang berpolitik praktis seketika itu otomatis tak pantas disebut Kiai lagi”. Karena omongannya yang cukup berani itu, Kang Tohari digugat oleh Kang Martopacul, Mas Matri dan Den Besus.
“Kamu ini kelewatan; berani ngomong sekeras itu tentang kiai”. Kata mas mantri mengawali gugatannya. “Iya, apa kamu lupa kiai adalah ulama, yang tak lain adalah entitas pewaris para nabi” ujar Kang Martopacul mendukung. “Sepakat, kamu jangan asal ngomong. Coba beri penjelasan mengapa seorang kiai menurut kamu tak pantas menggeluti urusan politik. Apa urusan seperti itu termasuk perkara haram?” tambah Den Bagus lagi.
Kang Tohari yang diserang dengan kata-kata bak air hujan menubruk atap seng itu menjadi gemetaran. Tapi ia mencoba menjawab tegar. “Begini, pertama saya ingin katakan bahwa saya menyesal telah ngomong sekeras itu tentang kiai. Kalau bukan karena cinta saya kepada kiai dan lembaga kekiaian saya tidak akan ngomong sekeras itu” Kang Tohari mencoba membela diri.
“Kamu ngawur! Cinta kiai kok omongmu begitu keras terhadap sebagian dari mereka. Ini bagaimana?” Kejar Mas Mantri.
“Maafkan saya mas. Omongan saya kemarin itu berangkat dari segi hakikat kiai dan kekiaian. Menurut saya, dari segi ini kiai memang kurang pas berpolitik”
“Kok” kata mas mantri dengan mata membulat.
“Iya, sampeyan barusan bilang bahwa kiai itu pewaris para nabi. Sampai disini saja sudah janggal, mosok kiai mau turun derajat ngurusi politik yang dalam kenyataannya merupakan ajang pergumulan antar kepentingan golongan bahkan pribadi. Kiai sepatutnya cukup menjadi penjaga moral saja lah!”. Tangkis Kang Tohari mantap.
“Termasuk moral para politisi” sela Den Bagus.
“Ya, politisi dari semua golongan. Seorang kiai semestinya berdiri ditengah-tengah menjadi figur yang netral. Kalau kiyai sudah berpolitik, berarti dia sudah pro terhadap salah satu golongan. Ini artinya, kiai itu harus siap “bertengkar” dengan kiai lain yang memihak digolongan berbeda bukankah ini artinya kiai menurunkan drajatnya sendiri?”. Ujar Kang Tohari merasa menang.
Setelah membaca cerita dalam buku Ahmad Tohari Mas Mantri Menjenguk Tuhan itu, saya kok merasa ada persamaan dengan yang saya alami didesa beberapa waktu lalu. Jika Kang Tohari menggugat kiai, saya lebih dekat lagi, yang saya gugat bapak saya sendiri.
Gugatan saya juga sama beralasannya dengan Kang Tohari, selain karena perasaan cinta terhadap orang tua saya itu, juga sepertinya saya tidak ikhlas melihatnya dijadikan bulan-bulanan politik pemilihan kepala desa (pilkades) yang sedang berlangsung. Dan gara-gara itu, seperti ujar kang Tohari, ia seakan mengorbankan kehormatan dirinya dimata masyarakat. Paling tidak ini ditunjukkan dengan semakin berkurangnya kuantitas jama’ah yang mau mendengar pengajian-pengajiannya setiap pagi selepas subuh.
Saya sudah memberinya peringatan dengan bahasa yang mungkin lebih keras dari Kang Tohari.
“Bapak itu Maqomnya (tempat) lain, tugas bapak cukup mengaji, bahas kitab kuning, ngapain ikut-ikutan politik” kata saya suatu hari.
Namun, jawaban bapak ternyata tak kalah garang dengan Kang Martopacul, Mas Matri dan Den Besus. “Saya punya kewajiban membimbing masyarakat memilih kepala desa yang benar sesuai dengan Al-qur’an dan Hadist” tandas bapak menimpali saya bernada lumayan tersinggung.
“Tapi siapa yang jamin?, jika kepala desa yang bapak dukung dan bapak mengajak masyarakat mendukungnya, setelah menjadi kepala desa nanti akan betul-betul baik?” Tanya saya tak mau kalah.
Suasana menjadi hening. Bapak terlihat mengerutkan kening dan menunduk. Tiba-tiba saya merasa bersalah telah terlalu keras berkata seperti itu. sayapun melanjutkan kata-kata saya ”Mohon maaf pak, saya hanya khawatir saja, dalam politik pilkades ini bapak sekadar ikut-ikutan, dan akhirnya bapak hanya jadi bulan-bulanan saja ketimbang menjadi pemain sungguhan”.
Mendengar omongan saya itu, bapak terlihat berfikir keras. Saya tidak tahu ia faham dengan bahasa saya atau tidak. Tapi pagi harinya isi ceramah bapak cukup mengehentak hati saya. Ia bilang mulai hari itu, ia tidak akan memihak pada siapa-siapa. Lebih dalam lagi, Ia menganjurkan masyarakat supaya memilih dengan hati nurani. Tepatkah pilihan bapak saya?

Kiai dan Film Lion Battlefield

Pemikiran saya menjadi lain setelah mendiskusikan sebuah film dokumenter Lion Battlefield bersama kawan-kawan aktivis di Mataram. Film yang berkisah tentang politik dunia fauna ini berhasil menyedot energi saya untuk faham benar peran politik setiap warga negara ini, tak terkecuali para kiai dan bapak saya itu.
Dalam sebuah adegan, film itu menggambarkan aksi sekelompok gajah yang mengambil sikap apriori terhadap hiruk pikuk politik dunia binatang. Walau sebenarnya ia mempunyai kekuatan yang bahkan dapat menandingi kekuatan sang raja hutan sekalipun. Namun ternyata gajah samasekali tidak memiliki insting politik berkuasa. Sehingga predikat si raja hutan tetap saja dimiliki singa.
Sikap apriori seperti itu memberi dampak positif dan negatif bagi kehidupan sang gajah. Negatifnya ia tak lebih sebagai pemain figuran. Tak mempunyai peran signifikan. Dan cenderung tak menunjukkan eksistensi dirinya kecuali saat adegan merobohkan pohon-pohon dikala musim kemarau datang dan rumput-rumput menjadi kering. Tapi letak positifnya gajah tak mempunyai musuh satupun. Ia menjalani hidup dengan enjoy, tak ada beban apapun ditengah megahnya imperium kekuasaan yang dibangun singa. Tugasnya hanya satu, melengkapi rotasi ekosistem alam yang berkelindan secara harmonis.
Setelah melihat gajah, saya melirik politik para kiai. Walaupun saya tidak mengatakan kiai harus seperti gajah (maaf!). Namun paling tidak dari sikap apriori gajah sang kiai bisa belajar. Tugas kiai tentu saja menyeru moral. Sebagai pewaris para nabi, tugas kiai adalah berdakwah, menyampaikan pesan-pesan Tuhan. Diluar itu ia bertanggungjawab memerankan diri sebagai bagian dari ekosistem sosial yang profesional dengan maksud agar kehidupan manusia tetap harmonis seperti harmonisnya alam.
Pendapat saya ini ternyata mendapat bantahan dari kawan dekat saya. “Kamu ini sama saja dengan Kang Tohari, terlalu ekstrim!” katanya beberapa saat menjelang diskusi berakhir.
“Tidak ada salahnya kiai atau bapakmu berpolitik. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah konteks kiai itu berpolitik. Apakah dia dalam posisi terhegemoni atau justru terkooptasi?”. Tambahnya lagi.
“Ah bahasamu terlalu tinggi aku tidak ngerti” kata saya.
“Maksud saya begini, kan ada kiai yang berpolitik didasari oleh rasa tanggungjawab pada masyarakatnya, namun sang kiai kadang merasa ruang gerak dakwahnya terlalu sempit sehingga tidak cukup signifikan menghasilkan perubahan. Oleh sebab itu, kiai model begini memilih jalur politik “resmi” atau konvensional, ini saya sebut kiai yang terhegemoni”
“Lalu, yang satunya” kejar saya penasaran.
“Ada kiai yang memang sejak awal terkooptasi politik. Dia sekedar ikut-ikutan, pengen pesantrennya dapat sumbangan atau minimal pesantrennya sering dikunjungi pejabat. Lalu sang kiai ikhlas-ikhlas saja melakukan kampanye gratis lewat pengajian-pengajiannya”. Jelas teman saya itu panjang lebar. Saya sungguh tidak meragukan komentar-komentar teman saya itu, sebab saya tahu teman itu sedang kuliah di Pascasarjana Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta. “Soo pasti dia lebih jago” fikirku.
Saya lalu mikir, dimana posisi bapak kalau demikian? Jika bapak ikut politik dengan mendukung salah satu calon kepala desa itu, demi ketulusan niat andil memperbaiki desa? Berarti saya berdosa dong telah menghentikan bapak nimbrung dipolitik!. Tapi jika memang tujuan bapak ikutan nimbrung sekedar ikut-ikutan? Semoga saja saya masuk syurga karenanya!. “Sayang, saya terlalu cepat memvonis” ujar saya dalam hati. Seandainya ada kesempatan, saya malah ingin menyuruh bapak berpolitik saja, bahkan mencalonkan diri sekalian jadi kepala desa. Ups!.[]

No comments: